Rabu, 15 September 2010

SULTAN HAMID II ALQADRIE

Sultan Hamid II - Pencipta Lambang Negara RI

Sultan Hamid II atau Syarif Hamid Alqadrie  adalah putra sulung Sultan Syarif Muhammad Alqadrie, Sultan Pontianak terdahulu dari istri ketiganya Syecha Jamilah Syarwani, seorang perempuan berdarah Turki. Hamid dilahirkan di Pontianak 12 Juli 1913 bersamaan 7 Syaban 1331 H dan dilantik sebagai Sultan Pontianak Kedelapan pada 29 Oktober 1945. Pengangkatannya sebagai sultan diikuti beberapa kontroversi antara kemauan sebagian besar rakyat Kalbar, termasuk keinginan masyarakat Dayak, agar siapapun tampil sebagai sultan dari dinasti Al-Qadrie, Syarif Thaha atau Syarif Hamid Alqadrie, agar pemerintahan kesultanan tidak kosong.
Saat masih kanak-kanak Hamid diasuh pengasuh bangsa Belanda. Itu sejak usia 40 hari, Hamid kecil diangkat anak oleh Miss Fox. Saat berusia 7 tahun, ia diajak ke Batavia oleh ibu angkatnya itu. Setelah tamat ELS Hamid melanjutkan di HBS, lalu Techniche Hoge School (THS) Bandung (Institut Teknologi Bandung belakangan). Sesudah itu ia pergi ke Negeri Belanda dan masuk Koninklijk Militaire Academie di Breda, Belanda. Pada tahun 1938 ia berpangkat Letnan Dua dan dalam karir kemiliterannya, ia pernah bertugas di Malang, Bandung, Balikpapan dan beberapa tempat lainnya di Pulau Jawa. Pada tahun 1939 naik menjadi Letnan Satu. Pada saat Perang Dunia mulai tahun 1941, ia ikut bertempur melawan Jepang di Balikpapan.
Pada 31 Mei 1938 Hamid melangsungkan pernikahan dengan bekas temannya di Malang, Marie Van Delden, wanita Belanda kelahiran Surabaya 5 Januari 1915 anak Kapten Van Delden. Marie kelak lebih dikenal sebagai Didie Alqadrie. Didie memberi Hamid dua anak, Syarifah Zahra Alqadrie (Edith Hamid) lahir 26 Februari 1939 di Malang dan Syarif Yusuf Alqadrie (Max Nico) lahir 19 Januari 1942 di Malang. Di kemudian hari, Hamid menikah lagi dengan Reni seorang perempuan dari Yogyakarta.
Pada tahun 1944, ayahnya Sultan Syarif Muhammad Alqadrie ditangkap dan dibunuh tentara Jepang bersama anak lelaki dan menantunya. Hamid saat itu dibawa ke Jawa sebagai tawanan Jepang. Setelah Jepang menyerah, bersama tentara NICA ia kembali ke Pontianak pada Oktober 1945. Setelah tiba di Pontianak, Hamid disambut oleh keponakannya Sultan Syarif Thaha Algadrie. Dalam pertemuan keduanya, Hamid keheranan dan kaget mengetahui Thaha sebagai Sultan Pontianak dalam usia 18 tahun. Hamid mengusulkan kepada Thaha untuk mengundurkan diri dan menyerahkan jabatan sultan kepada dirinya, alasan Hamid didasarkan bahwa Thaha terlalu masih muda untuk menghadapi situasi pergolakan dan keamanan di Pontianak. Dalam masa pemerintahan Sultan Thaha Aqadrie, kondisi Kalbar pada umumnya dan Pontianak pada khususnya, masih tidak stabil. Berita tentang kemerdekaan NKRI dan penyerahan Jepang kepada sekutu terlambat diterima di Pontianak. Tiga dari beberapa peristiwa penting yang terjadi dalam menyambut kemerdekaan adalah: (1) Berita tentang kedatangan tentara Sekutu  untuk melucuti tentara Jepang; (2) Pasukan kelompok etnis Dayak dipimpin oleh Panglima Burung memasuki Pontianak menuntut diangkatnya Sultan Pontianak untuk menghindari kekosongan kekuasaan; (3) Masyarakat Pontianak gelisah, karena anggota komunitas keturunan Cina membentuk pasukan penjaga keamanan (PKO) sendiri dan ada isu bahwa tentara Cina akan mendarat di Pontianak.
Sultan Syarif Thaha Alqadrie menyerahkan jabatan sultan kepada Sultan Syarif Hamid II, walaupun ada fihak yang pro dan kontra dengan keputusannya itu, namun sebagaimana diakui Syarif Thaha sendiri kesediaannya menjabat Sultan Pontianak adalah untuk sementara waktu demi mengisi kekosongan sampai kembalinya Syarif Hamid dari Batavia, sebagai pewaris syah tahta kesultanan Pontianak.
Pada 29 Oktober 1945 Sultan Hamid II dinobatkan secara resmi sebagai Sultan Pontianak melalui upacara oleh pemerintah NICA. Selain sebagai Sultan Pontianak, Hamid II atas nama pemerintah Belanda diangkat sebagai Ajudan Ratu Belanda (Ajudant in Buitengewone Dienst bij HM Koningen der Nederlander) dan Wali Negara Kalimantan Barat. Pangkatnya dinaikkan menjadi Jenderal Mayor, suatu pangkat kemiliteran tertinggi yang pernah diberikan kepada putera Indonesia.
Di saat berlakunya sistem swapraja, Hamid II yang berasal dari golongan feodal Pontianak diangkat sebagai Kepala Daerah Swapraja Pontianak. Pada masa revolusi, Sultan Hamid sempat menjadi Ketua BFO (Bijeenkomst voor Federale Orvleg: Majelis Permusyawaratan Negara Federal). Dalam BFO ini terdapat negara-negara boneka yang diciptakan dan didukung Belanda selama revolusi kemerdekaan Indonesia.
Sebagai Ketua BFO, Hamid ikut dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda. Dalam proses penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Indonesia, sebagai Ketua BFO, Hamid menjadi anggota delegasi Indonesia untuk KMB. Dalam pembentukan Negara Republik Indonesia Serikat, Hamid II ditunjuk sebagai anggota penyusun kabinet. Dalam Kabinet RIS pimpinan Hatta, Hamid II diangkat sebagai Menteri Negara zonder fortofolio. Setelah penyerahan kedaulatan dan pengakuan Belanda terhadap RIS 27 Desember 1949, Hamid menghadapi berbagai kekecewaan dalam pembentukan RIS. Kekecewaan pertama karena ketidakberhasilannya menduduki jabatan Menteri Pertahanan padahal reputasi dan karir militernya terpenuhi untuk itu. Ia juga kecewa terhadap dominasi TNI di dalam APRIS. Hamid II hanya diberi jabatan Menteri Negara tanpa fortofolio. Ia hanya diserahi tugas menyiapkan gedung parlemen dan menyusunan rencana lambang negara. kekecewaan Hamid lainnya adalah realisasi bentuk Negara RIS tidak seperti diharapkan BFO.
Wacana pemikiran Hamid berkeinginan menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat melalui bentuk federasi atau negara serikat. Hamid berpandangan, kesenjangan, ketertinggalan daerah dari pusat di Jawa, dan kekecewaan daerah, tak terkecuali Kalimantan Barat yang dipimpinnya, disebabkan justru bangsanya terlalu takut dengan sistem pemerintahan federasi yang dinilainya lebih mampu memakmurkan dan sistem yang mengandung keadilan sebagai suatu sistem yang mengandung otonomi khusus atau daerah istimewa.
Karena dianggap sebagai figur berpikiran cemerlang ke depan, dengan gagasan besarnya akan pentingnya harkat dan martabat manusia yaitu ide tentang yang sekarang dikenal sebagai otonomi daerah, Hamid II dituduh sebagai seorang penghianat bangsa dan dijebloskan ke dalam penjara selama 10 tahun. Setelah menyelesaikan hukuman yang dijalaninya di rumah tahanan di Jakarta dan Yogyakarta, Hamid II yang telah pensiun sebagai Jenderal Mayor KNIL, mantan kepala Daerah Istimewa Kalimantan Barat dan mantan Menteri Negara RIS serta sultan terakhir Pontianak hidup tenang bersama keluarganya. Sejak 1967 hingga akhir hayatnya selaku Presiden Komisaris PT indonesia Air Transport.
Hamid II meninggalkan jabatan baik sebagai Sultan Pontianak maupun sebagai Kepala Daerah Istimewa Kalimantan Barat pada 5 Januari 1950.  Dua dari beberapa kekecewaan yang menyebabkan ia mengambil keputusan meninggalkan jabatan dan kota Pontianak adalah kekecewaannya menghadapi demonstrasi para pemuda yang digerakkan oleh sebagian tokoh masyarakat pendukung Negara Kesatuan Republik Indonesia menuntut dibubarkannya Daerah Istimewa Kalimantan Barat Padahal, penolakan ini merupakan ketidaktahuan dan kurangnya wawasan tokoh masyarakat tentang status Daerah Istimewa Kalimantan Barat. Kekecewaan berikutnya adalah ketika Komite Nasional Kalbar pada 5 Januari 1950 memilih dr. Sudarso sebagai kepala daerah, karena Sultan Hamid II dianggap telah “meletakkan” jabatan dan telah duduk sebagai Menteri dalam Kabinet RIS.
Hamid II wafat di Jakarta, 30 Maret 1978. Ia dimakamkan dengan upacara kebesaran Kerajaan Pontianak di pemakaman Batu Layang Pontianak. Sultan Pontianak ini wafat tanpa menunjuk pengganti. Akibatnya mata rantai dinasti ini putus sampai di situ. Bahkan putra Hamid yang bermukim di Belanda, tak merasa otomatis bisa menggantikan sang ayah. Karya besar pribadinya ialah sebagai perancang dan pembuat Lambang Garuda Pancasila, Lambang Negara Republik Indonesia, Negara dan Bangsa yang telah mengkhianatinya.