Minggu, 31 Juli 2011

Sultan Muhammad Tsafiuddin II


Raden Afifuddin bergelar Sultan Muhammad Tsafiuddin II dilahirkan subuh Kamis 3 Syawal 1257 H bersamaan 18 November 1841 M, putra Sultan Abubakar Tadjuddin II dengan permaisurinya Ratu Sabar. Pada 1855, Sultan Abubakar Tadjuddin II oleh Belanda diasingkan ke Jawa. Waktu itu putra mahkota Pangeran Adipati Afifuddin masih kecil, menggantikannya diangkatlah Pangeran Mangkunegara sebagai wakil sultan dengan gelar Sultan Omar Kamaluddin III pada 10 Mei 1855. Sementara Sultan Abubakar Tadjuddin II diangkat sebagai Yang Dipertuan. Di Batavia Raden Afifuddin tinggal di rumah Syarif Abdul Kadir untuk diberi pendidikan Belanda. Sedangkan ayahnya dipindahkan ke Cianjur. Setelah beberapa tahun berada di Batavia, dipindahkan ke Galuh di Ciamis. Oleh Bupati Galuh Raden Adipati Kusumadiningrat, Pangeran Adipati dididik sebagaimana layaknya seorang putra mahkota dibekali ilmu pemerintahan, ilmu agama, ilmu sastra dan ilmu pasti. Sebagai gurunya ditunjuk juru tulis Bupati Mas Suma Sudibya. Pada 1861 Pangeran Adipati Afifuddin dipindahkan ke Batavia untuk melanjutkan pendidikannya.

Besluit Gouvernemen Belanda 5 April 1861 Pangeran Adipati Raden Afifuddin diangkat menjadi Sultan Muda. Kemudian 23 Juli 1861 oleh Belanda disediakan kapal perang milik Belanda bernama Arjuna untuk mengantarkan Sultan Muda bersama pamannya Temenggung Jaya Kusuma yang dikenal dengan Temenggung Ruai pulang ke Sambas. Menghindari perselesihan seperti di masa yang lalu, maka Sultan Muda dinikahkan dengan Raden Khalijah putri Sultan Omar Kamaluddin. Ketika Sultan Muda dan rombongannya tiba Di Sambas, kesultanan Sambas tengah berkabung karena wafatnya Raden Muhammad Semon gelar Pangeran Bandahara Sri Maharaja.

Atas permufakatan asisten Residen dengan Sultan Umar Kamaludin, Sultan Muda diangkat untuk menjadi wakil Pangeran Bandahara Sri Maharaja Raden Menteri gelar Raden Mangku Ningrat diberi pekerjaan magang dikantor wakil Bandahara. Dalam perjalanan tugasnya Sultan Muda selalu berlaku arif, bijaksana dan sederhana tidak memegahkan diri. Iapun menambah pengetahuannya tantang ilmu ukur pada G.L Van Doorsum,Luitnant I Commandant militer di Sambas.

Setelah 5 tahun Sultan Muda menjabat sebagai wakil Pangeran Bandahara, dengan besluit kolonial Belanda dinobatkanlah Sultan Muda menjadi Sultan Sambas dengan gelar Sultan Muhammad Tsafiuddin II, sedangkan Sultan Omar Kamaluddin diangkat menjadi Yang Dipertuan. Penobatan Sultan Muhammad Tsyafiuddin II dilaksanakan dengan meriah. Kesultanan Sambas secara turun temurun telah memiliki tata cara penobatan seorang Sultan. Pada tanggal 06 Agustus 1866 pukul 7.30 pagi diletuskan sebelas kali bunyi meriam dihadapan istana Pedalaman Lama sebagai penghormatan kepada Controuleur dan tamu Belanda serta tamu dari negeri tetangga serta tamu tamu lainnya.

Pada awal masa pemerintahan Sultan Muhammad Tsafiuddin II, beliau yang sudah banyak belajar di Batavia dan Ciamis menjadi gusar melihat keadaan negeri Sambas. Orang-orang yang diperintahnya pada umumnya masih banyak yang buta huruf, keras kepala suka saling membunuh. Menteri-menterinya sebagian besar masih buta huruf, pendapat mereka selalu berlawanan dengan pendapat Sultan yang telah banyak mengecap pendidikan itu. Beliau berupaya dan berikhtiar memajukan negeri dan rakyat Sambas baik perkara dunia maupun akhirat. Sejak kecil Sultan sudah di didik oleh ibunya dengan semangat Islam dan hidup dalam suasana Islam sampai pada hari wafatnya.

Sultan lebih menitikberatkan perhatian pada pembangunan dan kesejahteraan rakyat terutama di bidang pendidikan. Banyak mendirikan masjid dan surau, di antaranya adalah Masjid Jami Sultan Muhammad Tsafiuddin II. Masjid ini dibangun bersama Ibunya Ratu Sabar 1 Oktober 1885 M. Pemuda yang berbakat di bidang agama oleh Sultan Muhammad Tsafiuddin II diberi beasiswa untuk melanjutkan pendidikannya di Al Azhar Kairo Mesir, di antaranya terkenal adalah Haji Muhammad Basiuni Imran kemudian sebagai Maharaja Imam Kesultanan Sambas. Pada 1871 didirikan sekolah partikuler, mulanya yang belajar di sekolah ini adalah kerabat keluarga Kesultanan Sambas. Pada 9 September 1903 M dengan besluit kolonial didirikan Sekolah Bumiputera Kelas II. Semakin banyak rakyat Sambas yang ingin memperoleh pendidikan di sekolah, sehingga sekolah ini tidak dapat lagi menampung siswa. Untuk mengatasi hal itu dengan besluit Gouvernemen Belanda 1 Desember 1910 M didirikan sekolah Special School yang kemudian 1915 sekolah ini menjadi HIS. Setahun kemudian, 1916, Sultan Muhammad Tsafiuddin II mendirikan sekolah bernafaskan Islam dengan nama Madrasah Sulthaniah. Selain mengadakan pembangunan di bidang pendidikan, juga mengadakan pembangunan di bidang pertanian, perkebunan dan perhubungan.

Banyak digali terusan guna pencegahan banjir, di samping terusan tersebut memudahkan rakyat membawa hasil pertanian dan perkebunan, seperti Terusan Parit Sebuk, Terusan Kartiasa, Terusan Semagau, Terusan Sebangkau, Terusan Semparuk, Terusan Segerunding, Terusan Parit Baru dan sebagainya. Di bidang perhubungan Sultan Tsafiuddin II membangun jalan-jalan dan jembatan, baik di dalam kota maupun di luar kota. Seperti dibangunnya jembatan yang menghubungkan Sungai Sambas Kecil, jembatan yang menghubungkan Sungai Teberau dan jembatan yang menghubungkan Sungai Subah. Di bidang perhubungan darat juga membangun jalan yang menghubungkan satu kota dengan kota lainnya, sehingga perhubungan menjadi lebih lancar, seperti jalan yang menghubungkan Kota Sambas dengan Kota Pemangkat, Singkawang dan bengkayang. Selama sekitar 56 tahun memerintah Kesultanan Sambas, Sultan Muhammad Tsafiuddin II dapat merubah Kota Sambas menjadi Ibukota Kesultanan yang terpenting di Borneo Barat.

Sultan Muhammad Tsafiuddin II dan permaisurinya Ratu Anom Kusumaningrat dikaruniai tujuh orang anak, masing-masing Raden Ahmad Agus Pangeran Adipati Putra Mahkota Datuk Iyan, Raden Sandi Brajaningrat, Raden Abubakar, Raden Mahmud, Raden Muhammad Ramang, Raden Sandut, Raden Muhammad Tayeb Pangeran Bendahara Seri Maharaja. Dengan selirnya Encik Nauyah Mas Nyemas dikaruniai tujuh anak masing-masing Raden Muhammad Ariadinigrat Pangeran Paku Negara sebagai wakil sultan dengan gelar Sultan Muhammad Ali Tsafiuddin II, Uray Muhammad Noh, Uray Muhammad Masjid, Uray Muhammad Sani, Raden Jumantan, Raden Mutiara dan Raden Wildan.

Setelah putra tertua Raden Ahmad Agus dewasa maka diangkat menjadi putra mahkota dengan gelar Pangeran Adipati. Pangeran Adipati sangat terkenal dengan sifatnya yang keras dan sangat membenci kolonial Belanda. Tetapi ia tidak berusia panjang, mangkat pada 1916. Setelah putra mahkota Pangeran Adipati Ahmad mangkat maka Sultan Muhammad Tsafiuddin II mengangkat putra Pangeran Adipati yaitu Raden Muhammad Mulia Ibrahim sebagai putra mahkota dengan gelar Pangeran Ratu Nata Wijaya. Karena Pangeran Ratu Nata Wijaya saat ayahnya mangkat masih kecil, maka untuk menggantikannya diangkatlah putranya dari selir yang bernama Raden Muhammad Ariadiningrat sebagai wakil sultan yang memerintah Sambas dengan gelar Sultan Muhammad Ali Tsafiuddin II pada 4 Desember 1922 dan Raden Muhammad Tayeb diangkat sebagai Pangeran Bendahara Seri Maharaja. Sultan Muhammad Tsafiuddin diangkat sebagai Yang Dipertuan. Dua tahun berselang setelah pengangkatan Raden Muhammad Ariadiningrat sebagai Wakil Sultan, pada 12 September 1924 Yang Dipertuan Sultan Muhammad Tsafiuddin II mangkat dalam usia 83 tahun.

* Di edit dari berbagai sumber.

Jumat, 29 Juli 2011

KESULTANAN PONTIANAK


-->


Kesultanan Pontianak atau Kesultanan Qadriah didirikan oleh Syarif Abdurrahman Al Qadrie putra Sayyid Habib Hussein Al Qadrie pada 23 Oktober 1771 bertepatan 12 Rajab 1185 Hijriyah, yakni pada masa kekuasaan Van Der Varra (1761-1775), Gubernur Jenderal VOC ke-29. Kesultanan Pontianak merupakan kesultanan termuda di Kalimantan Barat maupun kawasan Nusantara, bahkan di dunia internasional.  Sejak usia muda, Syarif Abdurrahman telah menunjukkan bakat dan ambisinya yang sangat besar. Ia pernah melakukan petualangan hingga ke Siak dan Palembang, mengadakan kegiatan perdagangan di Banjarmasin, dan berperang hingga berhasil menghancurkan jung-jung Cina dan kapal Perancis di Pasir (Banjarmasin). Di wilayah Banjarmasin ini pula kelaknya ia dijadikan menantu oleh Sultan Saad di mana oleh Sultan Saad, Abdurrahman dinikahkan dengan Putri Syarifah Anom atau Ratu Sirih Anom dalam 1768. Selanjutnya Abdurrahman diberi gelar Pangeran Syarif Abdurrahman Nur Alam. Sebelumnya, di Sebukit Rama ia telah menikahi Utin Tjandramidi putri Opu Daeng Menambun. Karena ambisinya yang sangat kuat maka akhirnya di daerah Banjar dia sangat dibenci oleh kerabat kerajaan ini, sehingga terpaksa bertolak kembali ke Mempawah


Sejarah awal mula berdirinya kesultanan ini ditandai dengan keinginan Syarif Abdurrahman dan saudara-saudaranya beserta para pengikutnya untuk mencari tempat tinggal setelah ayahnya meninggal pada tahun 1184 H di Kerajaan Mempawah. Pada pukul 14.00 Jumat 9 Rajab 1185, setelah shalat Jumat, Syarif Abdurrahman Al Qadrie berangkat bersama seluruh keluarganya mencari suatu kawasan untuk dijadikan pemukiman baru bagi mereka. Saat itu kawasan yang dicari belum diketahui dengan jelas. Rombongan ini terdiri dari dua kapal besar dan 14 kapal kecil beserta dengan awak kapalnya lengkap dengan berbagai perlengkapannya. Armada besar ini dinakhodai oleh Juragan Daud.


Empat hari mengarungi sungai sampailah rombongan Abdurrahman ke sebuah pulau kecil yang belakangan dinamakan Batu Layang yang berada tak seberapa jauh dari muara Sungai Kapuas. Tempat ini kemudian menjadi tempat pemakaman resmi keluarga Kesultanan Pontianak sekarang. Dari tempat ini rombongan melanjutkan perjalanannya sampai mendekati persimpangan tiga pertemuan Sungai Kapuas dan Sungai Landak.


Selanjutnya, pada subuh Rabu 14 Rajab 1185 H atau 23 Oktober 1771 rombongan Abdurrahman memasuki kawasan perairan pertemuan Sungai Kapuas dan Sungai Landak dan menembaki dengan meriam para bajak laut atau perompak yang bersarang di kawasan tersebut. Dikirakan sekitar pukul 08.00 pagi tanggal tersebut, rombongan mendarat pada salah satu kawasan tepi Sungai Kapuas yang tidak seberapa jauh dari muara Sungai Landak. Mereka mulai menebang dan membersihkan pohon-pohon serta mendirikan surau yang sekarang menjadi Masjid Jami Syarif Abdurrahman Al Qadri. Dan pada saat itu pula dipersiapkan kawasan pemukiman. Pemukiman inilah yang kemudian menjadi Istana Kesultanan Qadriah Pontianak.


Masjid Jami' Pontianak


Pada tanggal 8 bulan Sya‘ban tahun 1192 H, Syarif Abdurrahman Alqadrie akhirnya dinobatkan sebagai Sultan Pontianak (Kesultanan Qadriah).  Penobatannya sebagai Sultan Pontianak dilakukan oleh Raja Haji dari Kerajaan Riau, dihadiri para raja di Kalimantan Barat. Kemudian Yang Dipertuan Haji Raja Muda dari Riau atas nama seluruh rakyat mengangkat Pangeran Syarif Abdurrahman Nur Alam dengan gelar Maulana Sultan Syarif Abdurrahman Al Qadrie sebagai sultan di Kesultanan Pontianak.


Kesultanan Qadriah dipimpin oleh tujuh Sultan :

 - Sultan Syarif Abdurrahman Alqadrie (1771-1808)

 - Sultan Syarif Kasim Alqadrie (1808-1819)

 - Sultan Syarif Usman Alqadrie (1819-1855)

 - Sultan Syarif Hamid Alqadrie (1855-1872)

 - Sultan Syarif Yusuf Alqadrie (1872-1895)

 - Sultan Syarif Muhammad Alqadrie (1895-1944)

 - Sultan Syarif Hamid II Alqadrie (1945-1950)


Periode Pemerintahan


Keberhasilan Abdurrahman menemukan kawasan pemukiman yang sangat strategi dalam geografis yang aman dari bencana alam, tidak terlepas dari latar belakang budaya dan pendidikan non-formal ditambah dengan wawasan luas, pandangan strategis dan jiwa pionir yang dimilikinya. Tidaklah berlebihan kalau Abdurrahman disebut sebagai seorang yang ahli maritim dan ahli strategi. Pontianak merupakan daerah yang strategis, membawa kemajuan dalam pelayaran dan perdagangan. Dengan kondisi yang demikian, kemudian banyak pedagang datang ke wilayah tersebut mengadakan hubungan dagang, seperti Bugis, Melayu, Cina, juga dari Sanggau, Sukadana, Landak, Sambas, Sebukit Rama dan hulu Kapuas. Dengan adanya jaminan Sultan Pontianak atas pelayaran dan perdagangan di kawasan Sungai Landak dan Sungai Kapuas Kecil, membuat lalu lintas perdagangan di Pontianak semakin ramai. Adanya jalur perdagangan yang dikuasai dan diatur oleh sultan sangat menguntungkan bagi kesultanan Pontianak.

Kesultanan ini berlangsung selama hampir dua abad, yaitu sejak tahun 1771 hingga tahun 1950. Selama kesultanan ini masih eksis terdapat delapan sultan yang pernah berkuasa. Ketika kesultanan ini berakhir pada tahun 1950, yaitu seiring dengan bergabungnya banyak daerah dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), maka sistem pemerintahan juga berubah menjadi pemerintahan Kota Pontianak. Ketika Sultan Syarif Hamid II Alqadrie memerintah antara tahun 1945 hingga tahun 1950, banyak kontribusi yang diberikannya kepada Indonesia. Ketika sebagai Ketua Bijeenkomst voor Federale Orvleg (BFO) atau Majelis Musyawarah Negara Federal pada tahun 1948, ia ikut menyerahkan kedaulatan dan pengakuan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari pemerintah kolonial Belanda.  Dalam pembentukan Negara Republik Indonesia Serikat, Hamid II ditunjuk sebagai anggota penyusun kabinet. Dalam Kabinet RIS pimpinan Muhammad Hatta, Hamid II diangkat sebagai Menteri Negara Zonder Fortofolio. Sultan Hamid II adalah 
perancang dan pembuat lambang negara Republik Indonesia, yaitu Burung Garuda Pancasila.



*Diedit dari berbagai sumber

Senin, 25 Juli 2011

KERAJAAN SELIMBAU

A. Pertumbuhan dan Perkembangan Kota Putussibau
Putussibau pada masa sekarang merupakan Ibukota Kabupaten Kapuas Hulu yang berada di wilayah propinsi Kalimantan Barat. Keberadaan Kota Putussibau tidak terlepas dari adanya pemerintahan tradisional zaman dahulu hingga pemerintah modern sesudah masuknya Bangsa Belanda dalam bentuk pemerintahan Koloni Belanda. Putussibau sendiri merupakan satu nama daerah atau tempat di antara beberapa nama daerah yang ada di wilayah Kabupaten Kapuas Hulu.Di antara nama daerah di wilayah Kabupaten Kapuas Hulu, selain Kota Putussibau yang sejak zaman dahulu adalah Embaloh, Kalis, Suhaid, Selimbau, Silat, Bunut dan lain-lain. Nama-nama daerah itu zaman dahulu adalah nama-nama kerajaan yang ada di wilayah Kapuas Hulu. Namun sekarang daerah tersebut telah menyatu mejadi bagian yang integral dari NKRI, khususnya sejak terbentuknya Pemerintahan Administrati pada tahun 1953 berdasarkan UU Darurat No 3 Tahun 1953. Pada perkambangannya daerah-daerah tersebut menjadi wilayah-wilayah kecamatan sebagai bagian dari Kabupaten Kapuas Hulu.
1. Asal Mula Kata Putussibau
Nama Putussibau menurut cerita rakyat yang berkembang di Kota Putussibau berasal dari gabungan kata “putus” (memutus atau memotong) dan ‘Sibau” (nama sungai yang membelah kota Putussibau). Sungai Sibau dinamakan demikia karena daerah di kiri kanan yang dilalui sungai Subau banyak terdapat pohon/kayu Sibau yang buahnya seperti buah rambutan. Selain Sungai Sibau, Kota Putusibau juga dialiri Sungai Kapuas yang merupaan sungai terpanjang di Indonesia.
Wilayah Kabupaten Kapuas Hulu sendiri dinamakan demikian karena di kabupaten inilah yang menjadi hulu Sungai Kapuas. Sungai Kapuas yang melewati Kota Putussibau telah memutus aliran Sungai Sibau yang membelah Kota Putussibau sehingga dikatakan Putussibau.Menurut versi cerita rakyat lainnya, bahwa munculnya nama Putussibau berasal dari kata “Sibau” yang merupakan jenis pohon/kayu Sibau yang buahnya seperti buah rambutan. Daun pohon ini dapat digunakan sebagai bahan pewarna pada tikar. Diceritakan dahulu kala ada pohon Sibau yang tumbuh besar ditepi sungai. Pohon Sibau tersebut tumbang menghalangi aliran sungai, dan dari peristiwa itulah masyarakat menamakan daerah itu dengan nama putussibau.
2. Asal Mula Penduduk Putussibau
Pada mulanya penduduk yang mendiami Kota Putussibau adalah orang Dayak Kantu’ dan Dayak Taman. Daya Kantu’ berasal dari daerah Sanggau yang berimigrasi ke timur. Orang-orang Dayak Kantu’ tinggal di sebelah selatan Kota Putussibau. Sedangkan orang Dayak Taman tinggal di daerah hilir di kampong Teluk Barat. Setelah berimigrasi ke Putussibau, banyak dayak Taman yang memeluk agama Islam. Selain dua suku tersebut, ada pula Suku Kayan yang menetap di daerah Kedamin. Suku Kayan ini juga banyak yang memeluk Islam. Sebelum kedatangan Bangsa Belanda, suu-suku Dayak ini membentuk pemerintahan tradisional sendiri yang mengatur wilayahnya masing-masing. Pada abad ke-19 Masehi mereka termasuk dalam wilayah Kerajaan Selimbau.
B. Masa Penjajahan
1. Kondisi Sosial Politik Zaman Belanda
Belanda datang pertama kali ke wilayah Kapuas Hulu di Kerajaan Selimbau pada tahun 1847, dengan pemerintahan Abbas Surya Negara. Orang Belanda yang dating ke kerajaan Selimbau tersebut adalah Asisten Residen Sintang bernama Cettersia. Dia dating dengan maksud meminta izin kepada Raja Selimbau untuk menebang kayu di daerah Kenerak.Kayu tersebut oleh Belanda untuk mendirikan benteng di daerah Sintang. Permohonan tersebut dikabulkan oleh raja Selimbau dengan perjanjiannya adalah bahwa seandainya jumlah kayu yang dibutuhan banyak maka mereka diperbolehkan bekerja lebih lama di Kenerak.
Setelah perjanjian disetujui oleh kedua belah pihak, Cettersia kemudian menyuruh tukang kayu Cina dan satu orang Melayu Bugis bernama Wak Cindarok. Kayu-kayu hasil tebangan tersebut diangkut melalui sungai Kenera, Kendali, Raya, Kenepai, Gebong, Rigi, Riau, Lemeda, Marsida, Kemelian, Subang, dan Kemayung.Pada tanggal 15 November 1823 (11 Rabiul Awal 1239 H), pada masa pemerintahan Pangeran Soema, pemerintahan koloni Hindia Belanda mengakui kedaulatan Kerajaan Selimbau yang menguasai tanah negeri Silat. Kemudian Kerajaan Selimbau mendirikan negeri baru yang diberi nama Nanga Bunut dan mengangkat Abang Berita sebagai rajanya dengan gelar Raden Suta.
Sejak pangeran Muhammad Abbas Negara berkuasa, terjadi konflik antara Kerajaan Selimbau dengan Kerajaan Sintang. Pada tahun 1838 M, Kerajaan Sintang melakukan penyerangan terhadap Kerajaan Selimbau. Kerajaan Sintang dipimpin oleh Pangeran Adipati Moh Jamaluddin meyerang Kerajaan Selimbau pada tanggal 7 Ramadhan 1259 H. Kerajaan Selimbau meminta bantuan kepada Kerajaan Pontianak yang dipimpin oleh Sultan Syarif Usman bin Sultan Syarif Abdulrahman Al Kadri. Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda juga turut campur dalam peperangan itu karena pihak Belanda mempunyai perjanjian dengan Kerajaan Pontianak dalam masalah keamanan dan peperangan.
Selain berkonflik dengan Kerajaan Sintang, Kerajaan Selimbau juga sempat berperang dengan Kerajaan Sekadau di daerah Sungai Ketungau. Pada tanggal 15 Desember 1847, Pangeran Muh Abbas Surya Negara mendapat pengakuan dari pemerintah kolonia Hindia Belanda untuk memimpin tanah Kapuas Hulu yang wilayahnya sampai ke hulu negeri Silat. Pada pemerintahan Pangeran Abbas inilah Kerajaan Selimbau mengalami zaman keemasan dan mempunyai daerah kekuasaan yang sangat luas sampai ke daerah Batang Aik Serawak Malaysia. Panembahan Haji Muda Muh Saleh Pakunegara mendapat pengakuan kedaulatan oleh pemerintahan colonial Belanda di Batavia sebagai penguasaKerajaan Selimbau. Ia diangkat menjadi raja ke-23 pada tanggal 28 Februari 1882 M. panembahan H. Gusti Muh Usman menjadi raja terakhir Kerajaan Selimbau yang ke 25, beliau dinobatkan oleh pemerintahan Belanda pada tahun 1912 M. Pada masanya ini Kerajaan Selimbau mengalami penderitaan karena harus membayar pajak tinggi. Beliau meninggal tahun 1923 M.
Selama kedudukan Gusti Muhammad Usman, pemerintahan Belanda melakukaan beberapa perjanjian:
1) Tanggal 15 November 1823 M dengan Pangeran Soama. Isi perjanjian adalah pengakuan pemerintahan Belanda atas kedaulatan Kerajaan Selimbau yang menguasai tanah negeri Kapuas Hulu dan negeri Silat.
2) Tanggal 5 Desember 1847 M, dengan Pangeran Muh Abbas Surya Negara. Isi perjanjiannya adalah pengauan pemerintah Belanda atas kedaulatan Kerajaan Selimbau di tanah Kapuas hulu yang kekuasaannya sampai ke Hulu Negeri Silat.
3) Tanggal 27 Maret 1855 M, dengan Pangeran Muh Abbas Surya Negara. Isi perjanjiannya adalah pengauan pemerintahan Belanda atas kedaulatan Kerjaan Selimbau di Tanah Kapuas Hulu. Daerah yang telah ditaklukkan oleh Pangran Muh Abbas meliputi: Dayak Batang Lumpur yang tinggal di Suriyang, Tangit, Sumpak, Semenuk, dan Lanja.
4) Tanggal 28 Februari 1880 M, dengan Pangeran Haji Muda Agung Muh Saleh Pakunegara.
2. Perlawanan Terhadap Bangsa Belanda
Perlawanan yang dilakukan oleh rayat Putussibau terhadap pemerintahan Belanda di antaranya dilaukan oleh Djarading Abdurrahman yang berasal dari
Suku Dayak Iban yang memeluk Islam. Pada masa mudanya Ajarading pernah sekolah sampai kelas V SD. Melalui pendidian tersebut beliau mulai mengerti akan kondisi bangsanya yang sedang di jajah Belanda.
Djarading mulai terjun dalam pergeraan setelah bertemu dengan Gusti Sulung Lelanang, bersamanya Djalading terjun dalam organisasi Serikat Rakyat. Dalam organisasi ini djarading mengadakan propaganda di kalangan Suku Dayak dan membantu menerbitkan Surat Kabar Halilintar di Pontianak pada tahun 1925. Djaranding kemudian dibuang oleh pemerintah Belanda ke Bevon Digul Papua Barat pada tahun 1927 karena ativitasnya dianggap menentang pemerintahan Belanda.
3. Kondisi Sosial Ekonomi Zaman Jepang
Jepang masuk ke Kapuas Hulu pada tahun 1942 dengan membuka pertambangan Batu Bara di bagian hulu Sungai Tebaung dan Sungai Mentebah. Dengan mempeerjakan orang pribumi, dengan jam kerja 8 jam/hari. Pada masa pendudukan Jepang di Kalimantan Barat antara tahun 1942-1945 wilayah Kapuas Hulu dipimpin oleh; Abang Oesman (1942-1943), K. Kastuki (1943-1944), dan Honggo (1944-1945)
4. Perlawanan Terhadap Bangsa Jepang
Pada masa Jepang berkuasa di Kalbar antara tahun 1942-1945, wilayah Kapuas Hulu juga termasuk dikuasainya. Pada awalnya kedatangan Jepang mendatangkan harapan akan membebasan rakyat dari penjajahan Belanda. Namun kenyataannya Jepang malah tidak lebih baik dari Belanda. Banyak sumber daya alam dan manusia dimanfaatkan oleh Jpang untuk kepentingan Jepang sendiri. Rakyat Putussibau benar-benar dieksploitasi guna kepentingan bangsa Jepang dengan tanoa diberi imbalan yang memadai.Melihat ketimpangan ini, maka banyak rakyat yang melakukan perlawanan terhadap Jepang. Demi mempertahankan kedudukannya di Kalbar khususnya Putussibau,
Jepang melakukan penangkapan dan pembunuhan terhadap orang-orang yang dianggap membahayakan kedudukan Jepang.
C. Masa Kemerdekaan
1. Situasi Setelah Kemerdekaan
Pada masa setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, wilayah Kapuas Hulu dipimpin oleh: Abang A. Gani (1945-1947), A. V. Dahler (1947-1949), Pd Abubakar Ariadiningrat (1949-1949), J.A. Schoohiem (1949-1950), Oesman Yahya (1950-1951), dan A, Salam (1951-1951).Wilayah Kapuas Hulu kemudian bergabung ke dalam Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) yang dipimpin oleh Sultan Hamid II.
2. Pembentukan Kabupaten Kapuas Hulu
Pada zaman Jepang seluruh daerah Kalimantan berada di bawah kekuasaan Angkatan Laut Jepang Borneo Menseibu Coka yang berpusat di Banjar MAsin. Sedangkan untuk Kalimantan Barat berstatus “Minseibu Syuu”. Berdasaran keputusan gabungan kerajaan-kerajaan Borneo Barat pada tanggal 22 Oktober 1946 Nomor 20L, wilayah Kalimantan Barat terbagi ke dalam 12 Swapraja dan 3 Neo-Swapraja: Swapraja Sambas, Pontianak, Mempawah, Landak, Kubu, Matan, Sukadana, Simpang, Sanggau, Sekadau, Tayan, dan Sintang. Sedangkan Neo Swapraja : Meliau, Nanga Pinoh, dan Kapuas Hulu.
Presiden Kalimantan Barat melalui Surat Keputusan Nomor 161 tanggal 10 Mei 1948 membentuk suatu ikatn federasi dengan nama daerah Kelimantan Barat. Untuk mendukung federasi ini, Belanda mengeluarkan Besluit Luitenant Gouverneur Kenderal Nomor 8 tanggal 2 Maret 1948 yang isinya adalah pengakuan status Kalimantan Barat sebagai daerah Istimewa dengan pemerintahan sendiri beserta sebuah Dewan Kalimantan Barat.
Pada masa republic Indonesia Serikat (RIS), daerah Kalimantan berstatus
sebagai daerah bagian (bukan Negara bagian) yang terdiri dari satuan-satuan
kenegaraan seperti Daya Besar, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur dan Banjar. Dengan adanya tuntutan rakyat, maka DIKB yang dipandang sebagai peninggalan pemerintah Belanda, berdasarkan keputusan Dewan Kalimantan Barat tanggal 7 Mei 1950, dengan masing-masing No 235/R dan 235/R menyatakan bahwa baik baddan pemerintah harian DIKB maupun pejabat kepala pusat PIS yang diwakili oleh seorang pejabat berpangkat presiden.


Kamis, 21 Juli 2011

PANEMBAHAN GUSTI SAUNAN


Muhammad Saunan merupakan cucu dari Panembahan Sabran yang dinobatkan sebagai pewaris tahta kerajaan karena sang putra mahkota, anak pertama Panembahan Sabran yang bernama Pangeran Ratu Gusti Muhammad Busra, wafat terlebih dulu dari ayahnya. Ketika dilantik sebagai pemimpin kerajaan pada 1909, Gusti Muhammad Saunan (putra pertama Gusti Muhammad Busra) masih belum cukup dewasa, maka kendali pemerintahan dipegang oleh Uti Muchsin Pangeran Laksamana Anom Kesuma Negara (paman Gusti Muhammad Saunan/adik Gusti Muhammad Busra). Gusti Muhammad Saunan resmi menjabat sebagai Panembahan Matan pada 1922 bergelar Panembahan Gusti Muhamad Saunan. Di masa Perang Dunia II, dalam kekuasaan fasis militer Balatentara Pendudukan Jepang, Gusti Saunan merupakan salah seorang korban kebengisan, kekejaman dan kekejian balatentara pendudukan militer ini di Kalimantan Barat.

Panembahan Saunan raib di masa fasis Jepang tanpa meninggalkan keturunan. Namun, sewaktu Gusti Saunan belum mencukupi usianya menduduki tahta, untuk sedikit waktu tahta dijabat oleh pamannya, Pangeran Laksemana Uti Mukhsin (1908-24). Dengan hilang lenyapnya Panembahan Saunan (diperkirakan dalam tahun 1944), kekosongan pemerintahan kerajaan dilaksanakan oleh tiga orang pewaris kerajaan. Masing-masing Uti Halil Pangeran Mangku Negara, Uti Aflah Pangeran Adipati dan Uti Kencana Pangeran Anom Laksemana. Ketiganya (1945-46) ditetapkan sebagai anggota Majelis Pemerintahan Kerajaan Matan (MPK Matan atau MPKM).