Senin, 22 Agustus 2011

KESULTANAN SANGGAU


Cikal bakal sejarah pemerintahan (bekas) Kerajaan Sanggau Kapuas, bermula dengan kisah Dara Nante dan Babai Singa yang melegenda secara turun temurun. Dara Nante menikah dengan Babai Singa yang berasal dari daerah Sisang Hulu (Sekayam). Dara Nante sendiri berasal dari Labai Lawai, salah satu pemukiman di Simpang Mendawan daerah Terentang sekarang. Perjodohan keduanya kelaknya melahirkan seorang putra yang diberi nama Aria Jamban. Aria Jamban kemudian menurunkan Aria Batang dan selanjutnya Aria Batang beranak Aria Likar. Pada masa itu, Dara Nante yang menjadi pemimpin otonom lokal di Mengkiang mengangkat orang kepercayaannya, Aria Dakudak untuk menjadi seorang patih di daerah Semboja atau Segarong yang letaknya di antara Sungai Mawang dan Bunut sekarang.

Dalam perkembangan kemudian, Patih Dakudak digantikan oleh Dayang Mas. Pada masanya ini, pusat pemerintahan dialihkan ke Mengkiang dari Semboja. Dayang Mas merupakan kerabat dekat dari Dara Nante. Dalam memimpin Negeri Mengkiang, ia didampingi suaminya Patih Nurul Kamal putra dari Patih Kiyai Kerang yang berasal dari Banten. Selanjutnya keturunan dari Dayang Mas dan Patih Nurul Kamal menggunakan nama Kiyai seperti Kiyai Patih Gemuk, Kiyai Mas Senapati, Kiyai Mas Demang, Kiyai Mas Jaya, Kiyai Mas Jaya Ngebil dan Kiyai Mas Temenggung.

Setelah Dayang Mas wafat, ia digantikan oleh Dayang Puasa. Mulanya Dayang Puasa menikah dengan Kiyai Patih Gemuk, yang merupakan saudara dekat Patih Nurul Kamal. Perjodohannya itu dikaruniai seorang anak yang bernama Pangeran Agung Renggang. Setelah Kiyai Patih Gemuk mangkat, Dayang Puasa yang bergelar Ratu Nyai Sura menikah lagi dengan Abang Awal yang berasal dari Kerajaan Embau Hulu Kapuas. Perkawinan yang kedua ini dikaruniai empat orang anak. Keempatnya, masing-masing bernama Abang Djamal yang merintis dan bertahta di Negeri Belitang sebagai cikal bakal Kerajaan Belitang. Anak kedua, Abang Djalal bertahta di Balai Lindi Melawi. Kemudian Abang Nurul kamal yang bertahta dan menjadi Panembahan di Sanggau Lama. Dan anak keempat Abang Jawahir atau Abang Djauhir yang memerintah di daerah Sintang.

Pangeran Agung Renggang setelah dewasa kemudian menduduki tahta. Namun ia hanya beberapa bulan memerintah, kemudian mengundurkan diri dan selanjutnya digantikan oleh saudara seibunya, Nurul Kamal yang dikenal juga dengan sebutan Abang Gani yang bergelar Kiyai Patih Busu Kusuma. Setelah mangkat, Abang Gani atau Nurul Kamal digantikan putranya yang bernama Abang Basun Pangeran Mangkubumi. Dalam memerintah ia didampingi dua orang saudaranya, Abang Abun Pangeran Sumabaya dan Abang Guning.

Wafatnya Abang Basun maka naik tahtalah Abang Ahmad atau Abang Daruja atau Uju yang belakangan kemudian bergelar Sultan Ahmad Jamaluddin. Abang Ahmad atau Abang Daruja atau Uju, di atas tahta Kerajaan Mengkiang bergelar Sultan Ahmad Jamaluddin. Ia kemudian mengalihkan pusat pemerintahan kerajaan di tengah Kota Sanggau kapuas sekarang. Pusat kerajaan dibangun di tepi aliran Sungai Kapuas. Ia merupakan peletak dasar berdirinya Kerajaan Sanggau dengan pusat kekuasaan di Kota Sanggau Kapuas. la menikah dengan Putri Ratu Ayu yang berasal dari Kerajaan Landak. Pasangan Sultan Ahmad Jamaluddin dan Putri Ratu Ayu inilah yang merupakan penurun para raja dan wakil raja serta kaum kerabat bekas Kerajaan Sanggau seterusnya.

Setelah wafat ia digantikan Abang Saka yang bergelar Sultan Muhammad Kamaruddin. Dalam memerintah, ia didampingi saudaranya yang bernama Abang Sebilanghari, yang kemudian bergeiar Panembahan Ratu Surya Kusuma. Semasa hidupnya, sultan terdahulu, Ahmad Jamaluddin telah membagi kekuasaan kerajaan, di mana Abang Saka memerintah di Keraton Darat, dan Abang Sebilanghari di Keraton Laut. Gelar yang dipakai untuk menjadi raja diberi tambahan Gusti untuk penguasa di sebelah darat. Sedangkan untuk penguasa yang membantu raja memerintah diberi gelar Ade atau penguasa di sebelah laut. Dengan demikian, sepeninggal Abang Uju, kekuasaan menjadi terpisah dalam dua wilayah kekuasaan. Setelah Abang Saka atau Sultan Muhammad Kamaruddin wafat, maka tampuk kekuasaan diambilalih oleh Abang Sebilanghari yang kemudian bergelar Panembahan Ratu Surya Kusuma. la menikah dengan Utin Parwa dari Kerajaan Tayan. Setelah wafat, digantikan oleh putranya Gusti Thabrani Pangeran Ratu Surya Negara didampingi Abang Togok yang bergelar Pangeran Mangkubumi Gusti Muhammad Thahir yang menikah dengan Ratu Srikandi.


Dengan pecahnya keturunan raja-raja Sanggau dalam melaksanakan kekuasaan pemerintahan, di mana adanya pusat kekuasaan di sebelah darat dan di sebelah laut, maka dalam masa pemerintahan Gusti Thabrani diambil suatu kesepakatan antara kedua turunan penguasa di darat dan laut untuk memerintah secara bergantian menduduki tahta. Apabila raja sebelah darat yang menjadi raja atau panembahan, maka raja sebelah laut menduduki jabatan selaku mangkubumi. Begitu pula seterusnya, apabila di sebelah laut menduduki tahta sebagai panembahan, maka keturunan sebelah darat menjabat sebagai mangkubumi. Perkembangan ini terus berlangsung sampai kedatangan kolonial Belanda ke ibukota kerajaan Sanggau Kapuas.

Setelah Abang Thabrani wafat, naik tahtalah Abang Togok bergelar Gusti Muhammad Thahir I yang mernerintah Kerajaan Sanggau dalam tahun 1798-1812. Panembahan Thahir I memerintah didampingi Mangkubumi Pangeran Osman Paku Negara. Wafatnya Panembahan Thahir I, maka naik tahtalah Pangeran Osman Pak-u Negara sebagai panembahan yang berkuasa dalam tahun 1812-1814. Ia memerintah didampingi Mangkubumi Pangeran Muhammad Ali Mangku Negara I yang kemudian menggantikan Panembahan Osman sebagai panembahan Sanggau tahun 1814-1825. Ketika memerintah didampingi Mangkubumi Pangeran Ayub Paku Negara.

Pada akhirnya setelah menjabat selama sembilan tahun sebagai Mangkubumi Sanggau, Pangeran Ayub Paku Negara kemudian menduduki tahta kerajaan bergelar Sultan Ayub dan memerintah dalam tahun I825-1830. Dia kemudian mengalihkan pusat pemerintahan ke Kampung Kantuk sekarang. Tahun 1826 Sultan Ayub membangun Masiid Jami Syuhada dan mulai saat itu Kerajaan sanggau mengalami penataan dan perkembangan pesat serta moderen. Sebelumnya, Kerajaan sanggau telah diserahkan oleh Kesultanan Banten (melalui Kesultanan Pontianak) ke tangan Belanda, karena Sanggau merupakan kerajaan vazalnya, bersamaan dengan berdirinya Kesultanan Pontianak.

Wafatnya Sultan Ayub, maka naik tahtalah saudaranya yang bernama Ade Ahmad yang bergelar Panembahan Muhammad Kusuma Negara yang memerintah tahun 1830-1860. Sebagai Pangeran Mangkubumi diangkatlah Gusti Muhammad Thahir II yang bergelar Pangeran Ratu Sri Paduka Maharaja. Dalam perkembangan selanjutnya, menyusul penyerahan Kerajaan Sanggau ke tangan Belanda oleh Pontianak dan Banten, dilangsungkan penandatanganan Korte Verklaring atau Perjanjian Pendek yang mengikat kerajaan ini dengan kolonial Belanda pada tanggal 8 Mei dan 20 Mei 1877. Perjanjian ini ditanda tangani antara kerabat Kerajaan Sanggau dengan Residen Westerafdeeling van Borneo dan Asisten Residen Westerafdeeling van Borneo Sintang yang secara khusus berkunjung ke Sanggau Kapuas. Pihak Kerajaan sanggau ditanda tangani oleh Panembahan Muhammad Kusuma negara, Mangkubumi Muhammad Saleh, Pangeran Ratu Mangku Negara penguasa Semerangkai, Pangeran Mas Paduka Putra Raja penguasa Balai Karangan dan Pangeran Adi Ningrat Menteri Kerajaan Sanggau. Dalam perjanjian itu ditetapkan bahwa Tanjung Sekayam sebagai daerah yang diserahkan kepada militer Belanda.


Seterusnya, upaya kolonial Belanda tidak hanya sampai di situ atau bukan sebatas melakukan perjanjian atau korte verklaring. Namun telah melangkah lebih jauh. Hal itu dengan dilakukannya politik devide et impera atau politik pecah-belah, di mana Belanda telah mencampuri urusan pengaturan pemerintahan Kerajaan Sanggau. Kolonial Belanda melalui Residen Borneo Barat telah mengangkat raja yang baru yaitu Gusti Muhammad Thahir II menjadi raja menggantikan Panembahan Muhammad Kusuma Negara. Selanjutnya pula, setelah menduduki tahta, Gusti Muhammad Thahir II diharuskan terikat dengan Korte Verklaring terdahulu. Dalam memerintah ia didampingi Mangkubumi Pangeran Haji Sulaiman Paku Negara. Sebelum diangkat sebagai raja, Thahir II telah berkunjung ke Brunei Darussalam dan diangkat sebagai kerabat oleh Sultan Brunei Darussalam Syarif Syahbuddin dengan diberi gelar Pangeran Paduka Srimaharaja sejak 8 Jumadil Awal 1296 H, ditandai pula dengan pengaturan tapal batas kerajaan antara Sanggau dan Brunei mulai dari Hulu Sekayam sampai Hilir Kembayan dan dihadiahi satu meriam bermotif naga dari Brunei. Semasa hidupnya Gusti Thahir II dikaruniai dua orang putra, yang tertua Gusti Ahmad Putra Negara dikenal sangat anti kolonial Belanda. Karenanya dalam tahun 1876-1890 ia diasingkan Belanda ke Purwakarta dan wafat di sana.

Gusti Thahir II wafat, digantikan Haji Ade Sulaiman Paku Negara yang memerintah tahun 1876-1908. Di masa Panembahan Sulaiman, pada tanggal 14 April 1882, kembali ditandatangani Korte Verklaring antara Sanggau dengan Beianda. Selaku Mangkubumi semasa pemerintahan Panembahan Sulaiman adalah Haji Pangeran Muhammad Ali Surya Negara. Korte verklaring tersebut berisi antara lain menunjuk dua orang raja di Sanggau masing-masing di darat Haji Pangeran Muhammad Ali Mangku Negara dan di laut Panembahan Haji Sulaiman Paku Negara. Mengatur pembagian kerja untuk raja dan kerabatnya. Bagi orang Dayak dianggap sebagai rakyat kerajaan. Mengatur perbatasan pemerintahan Kerajaan Sanggau dengan kerajaan lain serta mengatur pembayaran upeti oleh rakyat kepada kerajaan yang dinamakan blasting dan natura. Semula para penguasa kerajaan menjadi tuan di negerinya. Namun sejak ditanda tanganinnya korte verklaring tersebut, mereka seumpama peminjam tanah dan hak mereka dari kolonial Belanda. Segala sesuatu yang semula sebagai otonom dari kerajaan, telah dibatasi dan harus dengan pengawasan pemerintah kolonial Belanda.

Setelah Panembahan Haji Ade Sulaiman mangkat, tahta dilanjutkan Pangeran Haji Gusti Muhammad Ali II Surya Negara. Ia adalah putra dari Haji Gusti Ahmad Putra Negara yang diasingkan kolonial Belanda ke Purwakarta hingga wafatnya di sana. Namun sebelum menduduki tahta kerajaan dalam tahun 1908, terjadi perselisihan dengan kerabatnya. Di mana Pangeran Adipati atau Pangeran Dipati Ibnu putra dari Panembahan Sulaiman raja terdahulu tidak mau menyerahkan tahta. Menurutnya, dirinya lebih berhak menggantikan ayahnya Panembahan Sulaiman untuk melanjutkan kekuasaan kerajaan. Mengatasi masalah tersebut, pihak kolonial Belanda campur tangan dan kemudian menobatkan Gusti Muhammad Ali II sebagai raja Sanggau dalam tahun 1908 dan memerintah hingga 1915. Dan Pangeran Adipati diasingkan ke Pulau Jawa. Sebagai Mangkubumi dinobatkan saudara kandung Panembahan Sulaiman yaitu Haji Pangeran Ade Muhammad Said Paku Negara. Setelah Panembahan Ali II wafat, naik tahtalah Haji Ade Muhammad Said Paku Negara (1915-1920) didampingi Mangkubumi Gusti Muhammad Thahir III Surya Negara selaku penguasa Kerajaan Sanggau.

Panembahan Gusti Muhammad Ali semasa hidupnya dikaruniai sembilan orang putra dan lima putri. Masing-masing Gusti Muhammad Thahir III Surya Negara, Gusti Ahmad Pangeran Adipati Surya Negara, Gusti Abdurrahman, Gusti Burhan, Gusti Muhammad Arief, Gusti Zainal Abidin, Gusti Syamsuddin, Gusti Abdul Murad, Gusti Terahib, Utin Isah, utin Hadijah, Utin Mas Uray, Utin Maryam dan Utin Maimun. Setelah Panembahan Ali II mangkat, diangkatlah Haji Muhammad said Paku Negara sebagai raja. Ia menduduki tahta tahun 1915-1920 didampingi Mnagkubumi Gusti Muhammad Thahir III Surya Negara putra dari Haji Pangeran Muhammad Ali II. Selanjutnya Gusti Thahir III putra Pangeran Haji Gusti Muhammad Ali II Surya Negara, menduduki tahta sejak 1920 hingga wafat tahun 1941.

Pembaharuan atau reformasi di dalam tubuh kerajaan mulai dilakukan Panembahan Thahir III. Berbagai fasilitas pendidikan dan sarana fisik lainnya yang membuka hubungan Sanggau dengan daerah lain dilakukan secara gencar. Salah satunya, isolasi perhubungan darat mulai terbuka lebar sehingga hubungan dari dan ke Sanggau, Landak Ngabang dan Sintang mudah ditempuh. Sebelumnya, masih menghandalkan sarana transfortasi sungai dengan menempuh Sungai Sekayam dan Sungai Kapuas. Di samping itu, di dalam tata laksana pemerintahan juga dilakukan reformasi di bidang hukum, di mana pada masa itu didirikan Lembaga Mahkamah Syariah atau Raad Agama di dalam Kerajaan Sanggau. Lembaga ini dipimpin oleh Pangeran Temenggung Surya Agama Haji Muhammad Yusuf dan Pangeran Penghulu Surya Agama Ade Ahmadin Badawi.

Dalam masa itu diatur pula mengenai peribadatan kaum Nasrani berada di bawah wewnang Departemen van Onderwijs En Eredient, sedangkan urusan Agama Islam diatur oleh kerajaan dan Lembaga Mahkamah Syariah demikian pula menyangkut hukum adat. Dalam tahun 1941 Panembahan Thahir III mangkat. Maka dinobatkanlah Ade Muhammad Arif putra dari Panembahan Haji Muhammad Said Paku Negara sebagai Raja Sanggau. Olehnya, pusat pemerintahan dialihkan ke Sungai Aur Kampung Beringin. Dalam tahun 1944, beserta kerabat keluarganya yang lain, Panembahan Arif menjadi korban kekejaman balatentara pendudukan militer Jepang.

Selanjutnya, untuk mengisi kekosongan tahta, maka kemudian diangkatlah Gusti Muhammad Umar (1944) untuk memangku sementara tahta kerajaan. Dalam tahun 1945, ia digantikan Gusti Muhammad Ali Akbar yang menjabat hingga 1946. Seterusnya. yang menduduki tahta terakhir Kerajaan Sanggau hingga dihapuskannya sistem pemerintahan Swapraja Sanggau dalam tahun 1959 adalah Panembahan Gusti Muhammad Thaufiq putra dari Gusti Thahir III. Gusti Thaufiq yang menjabat antara tahun 1946-1959, terakhir sebagal kepala Swapraja Sanggau hingga dibentuknya Kabupaten Sanggau dalam tahun 1960.

Selasa, 16 Agustus 2011

SULTAN MUHAMMAD MULIA IBRAHIM TSAFIUDDIN



Raden Muhammad Mulia Ibrahim bergelar Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Tsafiuddin adalah Sultan ke-15 Kesultanan Sambas. Putera dari Pangeran Adipati dengan permaisurinya Utin Putri dari Kerajaan Mempawah.  Dilantik menjadi Sultan pada tanggal 2 Mei 1931. Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Tsafiuddin memerintah Kesultanan Sambas dengan arif bijaksana. Pada masa pemerintahannya kolonial Belanda sudah lama ikut campur dalam segala urusan pemerintahan Kesultanan Sambas. Pada tanggal 17 Juli 1915 diperintahkan oleh Sultan Muhammad Tsafiuddin II kepada Raden Muchsin Panjianom dan Raden Abubakar Panjianom berangkat ke Serang ,Banten,untuk menemani dan membawa Raden Mulia Ibrahim untuk belajar disekolah OSVIA (opleiding Shool Voor Inlandsche Ambtenaar). Pada tanggal 15 Juli 1922 sewaktu Raden Mulia Ibrahim baru duduk ditingkat tiga ia diminta pulang ke Sambas oleh Sultan Muhammad Tsafiuddin II dan bekerja dikantor wakil Sultan di Singkawang (Raden Umar Junid) . kemudian dipindahkan dikantor Wakil Sultan di Bengkayang (Raden Ja’coeb Adiwijaya).Selanjutnya bekerja dikantor Panembahan Ketapang-Matan dibawah pimpinan Gusti Muhammad Saunan.
Pembangunan Negeri Sambas dibidang pendidikan dan pengajaran tidak mengalami kemajuan mengingat pada masa tahun 1931-1933 situasi dan kondisi Negeri Sambas mengalami krisis ,dan dalam keadaan susah.Kerajaan Belanda terpaksa mengurangi belanja pendidikan dan pengajaran masyarakat,sekolah sekolah :Volksschool (Sekolah Rakyat) 4 tahun,Vervolgsschool atau sekolah sambungan dan Standaardschool (pengganti H I S).Demikian juga Madrasah Sulthaniah mengalami kemunduran .kemudian atas inisiatif dari Maharaja Imam Haji Muhammad Basyuni Imran,Raden Muchsin Panjianom,Raden Abubakar Panjianom ,Daeng Muhammad Harun pada tanggal 19 April 1936 dibentuk sebuah perkumpulan dengan mana “Tarbiyatul Islam” dengan motto :”Bahwa bangsa Indonesia tidak akan dapat maju kalau tidak mempunyai Perguruan Bangsanya Sendiri”.
Para pengurus Tarbiyatul Islam mengorganisir kembali Perguruan Sultaniah bentuk baru sehingga berdiri sebuah sekolah Schakel School.Kemudian perkumpulan Tarbiyatul Islam membuka sebuah lagi sekolah (Schakel School) diSambas dan 2 buah sekolah agama masing masing di Singkawang dan Pemangkat.
Pada tanggal 1 Mei 1931 Belanda mengikat kontrak politik dengan Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Syafiudin,Penyelenggaraan pemerintahan Sambas harus menyesuaikan diri dengan ketentuan yang termaktub dalam Staatsblad Pemerintah Hindia Belanda yang disebut dengan Korte Verklaring atau Akte Van Vereband.kekuasaan Sultan menjadi terbatas,hanya merupakan daerah otonom yang berbentuk Lanschap.Kepada Sultan sebagai Het Zelfbestuur dikuasakan oleh pemerintah Hindia Belanda antara lain untuk melaksanakan hukum agama Islam dan hukum adat.
Pada tahun1933 Sultan Muhammad Mulia Ibrahim membangun istana baru diatas lahan istana lama dan selesai dalam tahun 1935.Dihadapan istana dibangun pintu gerbang (Gapura) bertingkat,dua buah pendopo dipergunakan untuk tamu,pertunjukan kesenian dan lain-lain. Sebelah kiri dan kanan dibangun dua buah pavilyun untuk tamu dari luar daerah serta untuk kantor pribadi Sultan,dan sebelah belakang pavilyun disediakan tempat untuk menyimpan barang –barang khazanah Sambas.

Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Syafiudin beristerikan Raden Marhum Siti binti Pangeran Bendahara Sri Maharaja Muhammad Tayyib,dan Raden Iyah dari Jawa Barat. Dengan isterinya Raden Siti binti Pangeran Sri Maharaja Muhammad Tayyib memperoleh anak : Raden Berti bersuamikan Mas Kailani dari Mempawah, Raden Maryam bersuamikan Daeng Subli Akib dari Kampung Bugis Sambas, Raden Muhammad Taufik (Pangeran Ratu Natakesuma) beristerikan Raden Dare Latifah binti Pangeran Laksamana Raden Hasnan, Raden Gunawan, Raden Anisah bersuamikan Wan Usman dari Singkawang,karena Wan Usman meninggal dunia,kemudian Raden Anisah kawin dengan Daeng Subli Akib, Raden Fatimah, Raden Asmara kawin dengan Bahtiar.
Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Tsafiuddin merupakan salah seorang korban pembantaian massal fasis militer Jepang di Kalimantan Barat. Nasib tragis demikian dialami pula oleh sebagian besar kerabat Kesultanan Sambas lainnya, termasuk Pangeran Bendahara Seri Maharaja Muhammad Tayeb.

Wafatnya Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Tsafiuddin pada 1943, waktu itu putra mahkota masih berusia sekitar 12 tahun, oleh rezim fasis militer Jepang diangkatlah Raden Muhammad Taufik sebagai putra mahkota dengan gelar Pangeran Ratu. Kemudian untuk melaksanakan tugas pemerintahan, fasis militer Jepang pada 25 Maret 1945 sampai 18 Oktober 1945 membentuk Majelis Kesultanan (Zitirijo Hiyogi Kai) terdiri dari Kenkanrikan di Singkawang sebagai penasehat, Demang Sambas Raden Muhammad Siradj sebagai ketua dan anggota terdiri dari Raden Ismail dan Raden Hasnan.

Setelah Jepang menyerah, di Kalimantan Barat, Belanda melalui perantara Sultan Hamid II pada 20 Februari 1946 membentuk dan melantik Majelis Kesultanan Sambas dengan nama Bestuur Commisi terdiri dari Raden Muchsin Pandji Anom Pangeran Temenggung Jaya Kusuma sebagai ketua, Raden Hasnan Pandji Kusuma Pangeran Laksamana sebagai wakil ketua dan Uray Nurdin Pangeran Paku Negara sebagai anggota dengan penasehat Haji Muhammad Basiuni Imran Maharaja Imam Kesultanan Sambas. Dengan pengakuan kedaulatan Republik Indonesia 1949, Bestuur Commisi melebur ke dalam pemerintahan Swapraja diketuai RM Soetoro dengan Bupati R Hoesni berkedudukan di Singkawang.

Minggu, 07 Agustus 2011

SULTAN SYARIF MUHAMMAD ALQADRIE (1895 -1944)




Syarif Muhammad Alqadrie, lahir di Pontianak 8 Januari 1872. Putera tertua Sultan Syarif Yusuf Alqadrie dan Syarifah Zahra Alqadrie ini dilantik sebagai Sultan Pontianak Keenam pada  6 Agustus 1895 ketika ia masih berumur 23 tahun. Sultan Syarif Muhammad Al Qadri beristri 10 orang dan dikaruniai 13 putra. Adapun istri sultan adalah Syarifah Telaha Al Qadri tidak dikaruniai anak, Syarifah Zubaidah Al Qadri tidak dikaruniai anak, Hajjah Syarifah Aminah (dari Brunei) dikaruniai 4 orang anak yaitu Syarifah Maimunah gelar Ratu Kusumayudha, Syarif Abdul Muthalib gelar Pangeran Muda, Syarif Usman gelar Pangeran Muda dan Syarifah Chadijah gelar Ratu Perbuwijaya. Istrinya Syarifah Zubaidah Al Qadri gelar Maharatu Besar Permaisuri dikaruniai dua anak, yaitu Syarifah Fatimah gelar Ratu Anum Bendahara dan Syarifah Maryam gelar Ratu Laksamana Sri Negara, dari istrinya Syecha Jamillah Syarwani (ibunya dari Turki) dikaruniai 6 anak yaitu Syarif Hamid Al Qadri dikenal dengan Max Al Qadrie (kelaknya sebagai Hamid II), Syarif Mahmud gelar Pangeran Agung Srimaharaja, Syarifah Salmah gelar Fahmud, Syarifah Rahmah, Syarif Hasyim dan Syarif Abdurrachman. Dari istrinya Syarifah Maryam Assagaf Ratu Seberang tidak dikaruniai anak, Encik Entin dikaruniai seorang anak Tengku Mahmud Al Qadri, Encik Timah tidak dikaruniai anak, Daeng Kadariyah tidak dikaruniai anak, dan Daeng Selma tidak dikaruniai anak.

Enam belas tahun kekuasaannya, 23 Juni 1911, Belanda memaksakan perjanjian baru kepada Muhammad yang dilaksanakan 26 Maret 1912. Perjanjian ini tidak lain menghancurkan martabat atau marwah (dignity) kesultanan dan rakyat Pontianak, karena para anggota kesultanan dianggap sebagai pegawai rendahan pemerintah Hindia Belanda. Apapun bentuknya, penjajahan adalah penghancuran martabat dan hak-hak asasi manusia. Meskipun kekuasaannya secara de jure berkurang dan harga diri kesultanan semakin direndahkan Belanda, namun kewibawaan dan pengaruh Sultan Muhammad tetap diakui di hati rakyat. Hal ini antara lain disebabkan pergerakan nasional dan moderenisasi di bidang sosial, budaya, ekonomi dan politik, seperti pendirian yayasan perguruan/pendidikan, kesehatan, kebudayaa dan kesenian, serta organisasi social dan politik, dilaksanakan oleh sultan sendiri, kerabat kesultanan, tokoh masyarakat, yayasan/organisasi Islam, misi Katolik, zending Protestan, dan sebagainya. Kesemua ini telah mendukung peran dan otoritas sultan yang menyebabkan antara lain masa kekuasaan Sultan Muhammad  merupakan masa pemerintahan terpanjang, 49 tahun, dibanding dengan masa pemerintahan enam sultan lainnya di kesultanan ini.

Sultan Syarif Muhammad, yang memerintah dalam dua zaman, Belanda dan Jepang, telah mendorong terjadinya banyak perubahan di Pontianak. Dalam bidang sosial, ia pertama kali berpakaian kebesaran Eropah sebagai pakaian resmi disamping pakaian Melayu dan mendorong berkembangnya pendidikan dan kesehatan. Di bidang ekonomi, ia melaksanakan perdagangan dengan dalam dan luar negeri seperti dengan Kerajaan Riau, Palembang, Batavia, Banten, Demak, Banjarmasin, Singapura, Johor, Malaka, Hongkong, dan India. Ia juga mendorong masuknya modal swasta Eropah dan Cina. Khususnya di sektor pertanian dan industri, Sultan Muhammd mendorong petani Melayu, Bugis, Banjar dan Cina mengembangkan perkebunan karet, kelapa dan kopra serta industri minyak kelapa untuk diekspor ke luar negeri. Dalam bidang politik, ia memfasilitasi berdiri dan berkembangnya organisasi politik yang dilakukan baik oleh kerabat kesultanan maupun oleh tokoh-tokoh masyarakat lainya.

Peranannya dan kegiatan masyarakat dalam kegiatan di bidang terakhir ini menyebabkan Sultan Muhammad dicurigai dan dibenci oleh dua pemerintahan Belanda dan Jepang. Pada April 1942, Sultan Syarif Muhammad Al Qadri mengundang para kepala swapraja di Istana Kadriyah Pontianak. Mereka berkumpul dan membahas situasi daerah yang semakin tidak menentu. Selanjutnya dirumuskan bahwa ketakutan, penderitaan dan kemelaratan dialami penduduk dapat diatasi jika pihak Jepang dapat diusir dari daerah Kalimantan Barat.

Penangkapan skala besar terjadi pada 24 Januari 1944 di Keraton Kadriah, Sultan Muhammad, kerabat kerajaan dan keluarga ditangkap oleh pasukan Kempeitai Jepang. Sultan Muhammad yang pada ketika itu baru saja selesai makan sehabis salat tahajud, diberitahu tentang apa yang sedang terjadi. “Tidak apa-apa, Jepang sedang mencari orang-orangnya,” ucap Sultan dengan tenangnya. Mungkin sesungguhnya kalimat itu masih akan berlanjut, tetapi keburu muncul tentara Jepang yang langsung menangkapnya. Semula Sultan akan diperlakukan juga seperti korban-korban lainnya. Tapi Sultan menolak dan dengan berwibawa berkata tidak akan lari.

Dengan senyum mengembang di wajahnya, Sultan berjalan dengan lancar menuju para serdadu yang telah menunggu di muka Istana. Dengan pakaian biasa serta sarung dan tasbih bergantung di lengannya, terucap salam dari mulut Sultan. Sesekali tangannya memberi isyarat sebagai respon dari ucapan salam yang dilontarkannya. Bahkan Sultan memutar-mutar tasbih di jari telunjuknya terus mengucap kalimat takbir, kalimat yang terlontar dari mulut  Sultan yang juga seorang ulama tersebut.

Peristiwa penangkapan Sultan Syarif Muhammad Al Qadri serta seluruh anak laki-lakinya juga seluruh menantunya—kecuali Syarif Hamid dan Syarif Ibrahim Al Qadri—dan keluarga kerajaan baik di dalam maupun di luar kompleks keraton berlangsung sampai pukul 03.00 subuh. Keesokan harinya pada 25 Januari 1944 telah berkembang berita penangkapan sultan dan keluarganya, peristiwa penangkapan sultan serta pembesar kerajaan telah menggemparkan penduduk Pontianak, namun tak seorangpun berani bertanya karena takut ancaman kekejaman militer Kempeitai Jepang. Korban pembunuhan yang dilakukan militer Jepang terhadap sultan dan keluarganya di lingkungan Keraton Kadriah, para tokoh masyarakat, ulama dan cendekiawan menjadi perjalanan sejarah kelam bagi penduduk Pontianak. Korban pembunuhan dalam lingkungan Keraton Kadriah Pontianak sedikitnya sebesar 31 jiwa. Peristiwa tersebut sangat menyulitkan guna mencari calon pengganti sultan, karena baik para putra maupun keluarga terdekat ikut ditawan dan dibunuh.

Dua tahun kemudian tempat dimana jenazah Sultan Muhammad dikuburkan baru dapat ditemukan, dengan petunjuk dari seorang penggali kuburannya bernama Mat Kapang yang selamat dari pembantaian Jepang. Saat digali kembali, jasad Sultan yang shalih itu masih utuh seperti orang yang baru saja meninggal dunia. Bahkan, menurut kesaksian para penggali, pakaian dan tasbihnya pun masih tampak bagus. Jasad Sultan Syarif Muhammad Alkadrie kemudian dimakamkan kembali di makam para sultan Pontianak di Batulayang.

* Diedit dari berbagai sumber