Selasa, 19 Oktober 2010

Syarif Saleh Al Aydrus

Tuan Besar Raja Kubu Syarif Saleh Al Aydrus
Tuan Besar Raja Kubu Syarif Saleh Al Aydrus lahir di Ambawang Kubu Rabu 11 Zulhijjah 1300 H bersamaan 14 Juli 1883. Ibunya Syarifah Seha binti Syarif Umar Al Baraqbah. Wafat 7 Rajab 1363 H bersamaan 28 Juni 1944 akibat kekejaman balatentara Jepang di masa Perang Dunia II.Beliau memerintah Kubu dari tahun 1919 - 1944.

Semasa hidupnya Tuan Kubu Syarif Saleh Al Aydrus didampingi 4 orang istri. Masing-masing 1). Syarifah Telaha binti Tuan Kubu Syarif Hasan Al Aydrus (Raja Kubu Kelima) dikaruniai 3 anak, yaitu Syarif Husin, Syarif Abdurrahman dan Syarif Abubakar. 2). Enci’ Rahmah binti Bujang, mendapatkan 3 anak, yaitu Syarif Ahmad (1914—1944, korban keganasan Jepang), Syarifah Aisyah (bersuami Syarif Yusuf bin Said Al Qadri Patih Suri Negara Kubu), dan Syarif Usman. 3). Raden Ning binti Muhammad Syarif dikaruniai seorang anak Syarifah Chadidjah, dan 4). Daeng Leha binti Dalek, tidak beranak.

Masa pemerintahan Tuan Kubu Syarif Saleh Al Aydrus bin Idrus bin Abdurrahman bin Alwi bin Idrus Al Aydrus (turunan penguasa Ambawang) Kerajaan Kubu dibagi dalam 3 Onder Distrik. Masing-masing Telok Pakedai (dikepalai Saidi bin Said), Batu Ampar (Burhanuddin) dan Kubu (Syarif Ahmad bin Syarif Saleh Al Aydrus). Belakangan Onder Distrik Kubu dipimpin Syarif Yusuf bin Husin bin Saleh Al Aydrus sejak 1 Agustus 1942, sejak Ahmad ditetapkan sebagai Raja Muda Kubu. Namun 1 Maret 1943, Yusuf meletakkan jabatannya. Pada 20 Februari 1944, Tuan Kubu (Dokoh) Syarif Saleh diciduk balatentara pendudukan Jepang. Keesokan harinya, 21 Februari, Raja Muda Kubu Ahmad, juga diciduk menyusul ayahnya. Maka kemudian barulah diketahui, pada 28 Juni 1944, bersama pemuka Kalimantan Barat lainnya, Tuan Kubu Saleh dan Raja Muda Ahmad, termasuk korban pembantaian Jepang.

Wafatnya Tuan Kubu Syarif Saleh (1944) beserta putranya Syarif Ahmad, maka kemudian Bunken Kanrikan menunjuk Syarif Yusuf bin Said Al Qadri, menantu Syarif Saleh, sebagai Gi Tyo pada Kubu Zitiryo Hyogikai (semacam Bestuurscommissie masa sebelum pendudukan Jepang). Mulanya Yusuf tidak didampingi anggota lainnya menyandang kedudukan tersebut. Namun kemudian Bunken Kanrikan menetapkan 2 orang anggota mendampingi Yusuf Al Qadri, masing-masing Syarif Jaafar Al Aydrus (Bujang) mantan Controleur Padang Tikar, dan Syarif Hasan bin Zain Al Aydrus (saat itu pagawai kantor Sutiji Tyo di Pontianak).

Rabu, 15 September 2010

SULTAN HAMID II ALQADRIE

Sultan Hamid II - Pencipta Lambang Negara RI

Sultan Hamid II atau Syarif Hamid Alqadrie  adalah putra sulung Sultan Syarif Muhammad Alqadrie, Sultan Pontianak terdahulu dari istri ketiganya Syecha Jamilah Syarwani, seorang perempuan berdarah Turki. Hamid dilahirkan di Pontianak 12 Juli 1913 bersamaan 7 Syaban 1331 H dan dilantik sebagai Sultan Pontianak Kedelapan pada 29 Oktober 1945. Pengangkatannya sebagai sultan diikuti beberapa kontroversi antara kemauan sebagian besar rakyat Kalbar, termasuk keinginan masyarakat Dayak, agar siapapun tampil sebagai sultan dari dinasti Al-Qadrie, Syarif Thaha atau Syarif Hamid Alqadrie, agar pemerintahan kesultanan tidak kosong.
Saat masih kanak-kanak Hamid diasuh pengasuh bangsa Belanda. Itu sejak usia 40 hari, Hamid kecil diangkat anak oleh Miss Fox. Saat berusia 7 tahun, ia diajak ke Batavia oleh ibu angkatnya itu. Setelah tamat ELS Hamid melanjutkan di HBS, lalu Techniche Hoge School (THS) Bandung (Institut Teknologi Bandung belakangan). Sesudah itu ia pergi ke Negeri Belanda dan masuk Koninklijk Militaire Academie di Breda, Belanda. Pada tahun 1938 ia berpangkat Letnan Dua dan dalam karir kemiliterannya, ia pernah bertugas di Malang, Bandung, Balikpapan dan beberapa tempat lainnya di Pulau Jawa. Pada tahun 1939 naik menjadi Letnan Satu. Pada saat Perang Dunia mulai tahun 1941, ia ikut bertempur melawan Jepang di Balikpapan.
Pada 31 Mei 1938 Hamid melangsungkan pernikahan dengan bekas temannya di Malang, Marie Van Delden, wanita Belanda kelahiran Surabaya 5 Januari 1915 anak Kapten Van Delden. Marie kelak lebih dikenal sebagai Didie Alqadrie. Didie memberi Hamid dua anak, Syarifah Zahra Alqadrie (Edith Hamid) lahir 26 Februari 1939 di Malang dan Syarif Yusuf Alqadrie (Max Nico) lahir 19 Januari 1942 di Malang. Di kemudian hari, Hamid menikah lagi dengan Reni seorang perempuan dari Yogyakarta.
Pada tahun 1944, ayahnya Sultan Syarif Muhammad Alqadrie ditangkap dan dibunuh tentara Jepang bersama anak lelaki dan menantunya. Hamid saat itu dibawa ke Jawa sebagai tawanan Jepang. Setelah Jepang menyerah, bersama tentara NICA ia kembali ke Pontianak pada Oktober 1945. Setelah tiba di Pontianak, Hamid disambut oleh keponakannya Sultan Syarif Thaha Algadrie. Dalam pertemuan keduanya, Hamid keheranan dan kaget mengetahui Thaha sebagai Sultan Pontianak dalam usia 18 tahun. Hamid mengusulkan kepada Thaha untuk mengundurkan diri dan menyerahkan jabatan sultan kepada dirinya, alasan Hamid didasarkan bahwa Thaha terlalu masih muda untuk menghadapi situasi pergolakan dan keamanan di Pontianak. Dalam masa pemerintahan Sultan Thaha Aqadrie, kondisi Kalbar pada umumnya dan Pontianak pada khususnya, masih tidak stabil. Berita tentang kemerdekaan NKRI dan penyerahan Jepang kepada sekutu terlambat diterima di Pontianak. Tiga dari beberapa peristiwa penting yang terjadi dalam menyambut kemerdekaan adalah: (1) Berita tentang kedatangan tentara Sekutu  untuk melucuti tentara Jepang; (2) Pasukan kelompok etnis Dayak dipimpin oleh Panglima Burung memasuki Pontianak menuntut diangkatnya Sultan Pontianak untuk menghindari kekosongan kekuasaan; (3) Masyarakat Pontianak gelisah, karena anggota komunitas keturunan Cina membentuk pasukan penjaga keamanan (PKO) sendiri dan ada isu bahwa tentara Cina akan mendarat di Pontianak.
Sultan Syarif Thaha Alqadrie menyerahkan jabatan sultan kepada Sultan Syarif Hamid II, walaupun ada fihak yang pro dan kontra dengan keputusannya itu, namun sebagaimana diakui Syarif Thaha sendiri kesediaannya menjabat Sultan Pontianak adalah untuk sementara waktu demi mengisi kekosongan sampai kembalinya Syarif Hamid dari Batavia, sebagai pewaris syah tahta kesultanan Pontianak.
Pada 29 Oktober 1945 Sultan Hamid II dinobatkan secara resmi sebagai Sultan Pontianak melalui upacara oleh pemerintah NICA. Selain sebagai Sultan Pontianak, Hamid II atas nama pemerintah Belanda diangkat sebagai Ajudan Ratu Belanda (Ajudant in Buitengewone Dienst bij HM Koningen der Nederlander) dan Wali Negara Kalimantan Barat. Pangkatnya dinaikkan menjadi Jenderal Mayor, suatu pangkat kemiliteran tertinggi yang pernah diberikan kepada putera Indonesia.
Di saat berlakunya sistem swapraja, Hamid II yang berasal dari golongan feodal Pontianak diangkat sebagai Kepala Daerah Swapraja Pontianak. Pada masa revolusi, Sultan Hamid sempat menjadi Ketua BFO (Bijeenkomst voor Federale Orvleg: Majelis Permusyawaratan Negara Federal). Dalam BFO ini terdapat negara-negara boneka yang diciptakan dan didukung Belanda selama revolusi kemerdekaan Indonesia.
Sebagai Ketua BFO, Hamid ikut dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda. Dalam proses penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Indonesia, sebagai Ketua BFO, Hamid menjadi anggota delegasi Indonesia untuk KMB. Dalam pembentukan Negara Republik Indonesia Serikat, Hamid II ditunjuk sebagai anggota penyusun kabinet. Dalam Kabinet RIS pimpinan Hatta, Hamid II diangkat sebagai Menteri Negara zonder fortofolio. Setelah penyerahan kedaulatan dan pengakuan Belanda terhadap RIS 27 Desember 1949, Hamid menghadapi berbagai kekecewaan dalam pembentukan RIS. Kekecewaan pertama karena ketidakberhasilannya menduduki jabatan Menteri Pertahanan padahal reputasi dan karir militernya terpenuhi untuk itu. Ia juga kecewa terhadap dominasi TNI di dalam APRIS. Hamid II hanya diberi jabatan Menteri Negara tanpa fortofolio. Ia hanya diserahi tugas menyiapkan gedung parlemen dan menyusunan rencana lambang negara. kekecewaan Hamid lainnya adalah realisasi bentuk Negara RIS tidak seperti diharapkan BFO.
Wacana pemikiran Hamid berkeinginan menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat melalui bentuk federasi atau negara serikat. Hamid berpandangan, kesenjangan, ketertinggalan daerah dari pusat di Jawa, dan kekecewaan daerah, tak terkecuali Kalimantan Barat yang dipimpinnya, disebabkan justru bangsanya terlalu takut dengan sistem pemerintahan federasi yang dinilainya lebih mampu memakmurkan dan sistem yang mengandung keadilan sebagai suatu sistem yang mengandung otonomi khusus atau daerah istimewa.
Karena dianggap sebagai figur berpikiran cemerlang ke depan, dengan gagasan besarnya akan pentingnya harkat dan martabat manusia yaitu ide tentang yang sekarang dikenal sebagai otonomi daerah, Hamid II dituduh sebagai seorang penghianat bangsa dan dijebloskan ke dalam penjara selama 10 tahun. Setelah menyelesaikan hukuman yang dijalaninya di rumah tahanan di Jakarta dan Yogyakarta, Hamid II yang telah pensiun sebagai Jenderal Mayor KNIL, mantan kepala Daerah Istimewa Kalimantan Barat dan mantan Menteri Negara RIS serta sultan terakhir Pontianak hidup tenang bersama keluarganya. Sejak 1967 hingga akhir hayatnya selaku Presiden Komisaris PT indonesia Air Transport.
Hamid II meninggalkan jabatan baik sebagai Sultan Pontianak maupun sebagai Kepala Daerah Istimewa Kalimantan Barat pada 5 Januari 1950.  Dua dari beberapa kekecewaan yang menyebabkan ia mengambil keputusan meninggalkan jabatan dan kota Pontianak adalah kekecewaannya menghadapi demonstrasi para pemuda yang digerakkan oleh sebagian tokoh masyarakat pendukung Negara Kesatuan Republik Indonesia menuntut dibubarkannya Daerah Istimewa Kalimantan Barat Padahal, penolakan ini merupakan ketidaktahuan dan kurangnya wawasan tokoh masyarakat tentang status Daerah Istimewa Kalimantan Barat. Kekecewaan berikutnya adalah ketika Komite Nasional Kalbar pada 5 Januari 1950 memilih dr. Sudarso sebagai kepala daerah, karena Sultan Hamid II dianggap telah “meletakkan” jabatan dan telah duduk sebagai Menteri dalam Kabinet RIS.
Hamid II wafat di Jakarta, 30 Maret 1978. Ia dimakamkan dengan upacara kebesaran Kerajaan Pontianak di pemakaman Batu Layang Pontianak. Sultan Pontianak ini wafat tanpa menunjuk pengganti. Akibatnya mata rantai dinasti ini putus sampai di situ. Bahkan putra Hamid yang bermukim di Belanda, tak merasa otomatis bisa menggantikan sang ayah. Karya besar pribadinya ialah sebagai perancang dan pembuat Lambang Garuda Pancasila, Lambang Negara Republik Indonesia, Negara dan Bangsa yang telah mengkhianatinya.










Senin, 30 Agustus 2010

KESULTANAN SINTANG


Istana lama Kesultanan Sintang

Masa Kerajaan Sintang Hindu

    Kerajaan ini diperkirakan awalnya terletak di Desa Tabelian Nanga Sepauk, berjarak sekitar 50 km dari Kota Sintang (saat ini). Bukti sejarah berdirinya kerajaan ini dapat ditelusuri melalui sejumlah benda peninggalan sejarah. Sebuah patung yang menyerupai Siwa ditemukan di Desa Temian Empakan, Kecamatan Sepauk. Patung ini mempunyai empat tangan yang terbuat dari perunggu. Di samping itu, juga ditemukan Batu Lingga dan Joni yang bergambar Mahadewa di Desa Tabelian Nanga Sepauk (masyarakat menyebutnya dengan nama lain, Batu Kalbut). Di desa yang sama, ditemukan batu yang menyerupai b*** (sensored) atau lembu, beberapa kapak batu, dan makam Aji Melayu.

    Aji Melayu diperkirakan merupakan nenek moyang raja-raja atau sultan-sultan di Kesultanan Sintang. Tidak ada banyak data yang mengungkap tentang asal-usul siapa sebenarnya Aji Melayu itu. Ada sumber yang menyebutkan bahwa ia merupakan penyebar agama Hindu dari Tanah Balang (Semenanjung Malaka) ke Sepauk. Awalnya, ia menetap di Kunjau, dan kemudian pindah ke Desa Tabelian Nanga Sepauk hingga akhir hayatnya. Ia menikah dengan Putung Kempat, dan dikaruniai seorang putri, Dayang Lengkong.

    Dayang Lengkong memiliki garis keturunan yang merupakan para pewaris tahta kekuasaan di Kerajaan Sintang Hindu berikutnya, yaitu:  Abang Panjang, Demong Karang, Demong Kara, Demong Minyak, Dayang Setari, Hasan, Demang Irawan (Jubair Irawan I) dan Dara Juanti.

    Pada abad ke-XIII, Demong Irawan (Jubair Irawan I) memindahkan pusat kerajaan ke Senentang, terletak di persimpangan Sungai Kapuas dan Muara Melawi. Nama Senentang ini lambat-laun lebih dikenal dengan sebutan Sintang. Sebenarnya, penggunaan nama Sintang (Senentang) mulai berlaku sejak zaman pemerintahan Demong Irawan. Pada masa ini, wilayah Kerajaan Sintang mencakup Sepauk dan Tempunak.

    Setelah Demong Irawan wafat, tahta kekuasaan dipegang oleh Dara Juanti. Dara Juanti menikah dengan Patih Legender  yang berasal dari kerajaan Majapahit. Pada masa pemerintahan Dara Juanti, Kerajaan Sintang pernah mengalami masa kemajuan dan kemakmuran. Setelah Dara Juanti mengundurkan diri kerajaan Sintang mengalami kemunduran,tidak terdengar lagi seolah-olah kerajaan Sintang sudah tidak ada lagi. Baru beratus-ratus tahun kemudian muncul Abang Samad sebagai raja dari keturunan Dara Juanti.

    Setelah Abang Samad, tampuk pimpinan Kesultanan Sintang dipegang secara berturut-turut oleh: Jubair Irawan II, Abang Suruh dan Abang Tembilang. Kemudian Abang Pencin yang bergelar Sri Paduka Tuanku Pangeran Agung. Abang Pencin merupakan penguasa terakhir di Kerajaan Sintang Hindu. Ia juga merupakan raja yang menganut Islam pertama kali di Sintang. Masa pemerintahan Abang Pencin dapat dikatakan sebagai babak baru masa Kesultanan Sintang Islam.

 Masa Kesultanan Sintang Islam

Masjid Jami Sultan Nata
      Setelah Abang Pencin meninggal, tahta kekuasaan di Kesultanan Sintang dipegang oleh putranya, Abang Tunggal dengan gelar Sri Paduka Tuanku Pangeran Tunggal. Sebelum meninggal, Pangeran Tunggal pernah berwasiat agar Abang Nata menggantikan dirinya. Abang Nata merupakan anak dari kakak perempuan Pangeran Tunggal, Nyai Cili, yang menikah dengan Mangku Negara Melik.

    Pangeran Tunggal sebenarnya memiliki dua orang putra, yaitu Pangeran Purba dan Abang Itut. Namun, Pangeran Purba telah menikah dengan putri dari Sultan Nanga Mengkiang dan kemudian menetap selamanya di sana. Sementara itu, Abang Nata masih berumur 10 tahun. Oleh karena kondisi semacam ini, Pangeran Tunggal melakukan sebuah cara, yaitu menunjuk dua orang menteri, Mangku Negara Melik dan Sina Pati Laket. Setelah dewasa, Abang Nata mulai memimpin Kesultanan Sintang. Ia bergelar Sri Paduka Tuanku Sultan Nata Muhammad Syamsuddin Sa‘adul Khairi Waddin. Ia merupakan pemimpin pertama di Sintang yang menggunakan gelar Sultan.

    Pada masa pemerintahan Sultan Nata, banyak terjadi kemajuan di Kesultanan Sintang. Pada masa ini, mulai dibangun masjid pertama kali yang letaknya di ibu kota kesultanan, meski hanya dengan kapasitas 50 orang. Pada masa ini pula, wilayah kekuasaan Sintang meluas hingga ke daerah Ketungau Hilir dan Ketungau Hulu, hingga ke daerah perbatasan Serawak, Kalimantan Tengah, dan Melawi. Di samping mengalami kemajuan secara fisik, ada sejumlah keputusan penting terkait dengan Kesultanan Sintang yang ditetapkan dalam sebuah rapat, yaitu:

    1. Ditetapkannya Sintang sebagai Kesultanan Islam
    2. Pemimpin Kesultanan Sintang bergelar Sultan
    3. Disusunnya Undang-undang Kesultanan yang terdiri dari 32 pasal
    4. Didirikannya masjid sebagai tempat ibadah
    5. Dibangunnnya istana kesultanan

    Sultan Nata menikah dengan Putri Dayang Mas Kuma, putri dari Sultan Sanggau. Dari hasil pernikahan ini, Sultan Nata dikaruniai seorang putra, Adi Abdurrahman.


Istana Al Mukaramah Sintang
    Sultan Nata meninggal pada tahun 1150 H, dan dimakamkan di Kampung Sungai Durian Sintang. Putranya, Adi Abdurrahman kemudian menggantikannya dengan gelar Sri Paduka Tuanku Sultan Abdurrahman Muhammad Jalaluddin atau dengan sebutan lain, Sultan Pikai atau Sultan Aman, karena semasa beliau berkuasa rakyat aman sentosa tak pernah terjadi kekacauan.

    Sultan Abdurrahman menikah dengan Utin Purwa, putri Sultan Sanggau. Mereka dikaruniai dua orang anak, Raden Machmud dan Adi Abdurrasyid. Sultan Abdurrahman menikah lagi (tidak diketahui identitasnya), yang kemudian dikaruniai seorang putra bernama Abang Tole. Setelah Sultan Abdurrahman meninggal, tahta kekuasaan Sintang dipegang oleh putranya, Adi Abdurrasyid dengan gelar Sri  Paduka Tuank Sultan Abdurrasyid Muhammad Jamaluddin. Sementara itu, anaknya yang lain, Raden Machmud diangkat sebagai Mangkubumi.

    Pada masa Sultan Abdurrosyid, dibangun sebuah masjid baru yang menggantikan masjid lama. Ia tidak lama berkuasa karena jatuh sakit. Pada tahun 1210 H, ia meninggal, dan dimakamkan di Kampung Sungai Durian Sintang. Ia digantikan oleh putranya yang bernama Adi Nuh dengan gelar Sri Paduka Tuanku Pangeran Ratu Adi Nuh Muhammad Qamaruddin. Pada masa pemerintahan Adi Nuh, sejumlah rombongan asal Belanda datang pertama kali ke Sintang, tepatnya pada bulan Juli 1822 M, yang dipimpin oleh Mr. J.H. Tobias, seorang Komisaris dari Kust van Borneo.

    Pada bulan November tahun yang sama, Pangeran Ratu Adi Nuh Muhammad Qomaruddin meninggal dunia karena sakit parah. Tahta kekuasaan kemudian dipegang oleh Gusti Muhammad Yasin dengan gelar Sri Paduka Tuanku Pangeran Adipati Muhammad Djamaluddin. Pada bulan ini, datang rombongan Belanda yang kedua, di bawah pimpinan Dj. van Dungen Gronovius dan Cf. Golman, dua pejabat tinggi, yang ditemani oleh Pangeran Bendahara Pontianak, Syarif Ahmad Alkadrie, sebagai juru bicara.

    Misi Belanda tersebut menghasilkan sebuah kesepakatan dan kerja sama dagang, yang tertuang dalam Voorlooping Contract (Kontrak Sementara). Kontrak ini ditandatangani pada tanggal 2 Desember 1822 M. setelah itu, muncul beberapa perjanjian lainnya (1823, 1832, 1847, 1855). Secara umum, perjanjian-perjanjian tersebut lebih banyak menguntungkan pihak Belanda untuk melakukan intervensi terhadap pemerintahan dalam negeri Kesultanan Sintang. Alhasil, intervensi tersebut berdampak negatif terhadap masa depan pemerintahan Kesultanan Sintang.

        Pada tahun 1855 M, Pangeran Adipati digantikan oleh putranya yang bernama Adi Abdurrasyid Kesuma Negara dengar gelar Sri Paduka Tuanku Panembahan Abdurrasyid Kesuma Negara I. Setelah Panembahan Abdurrasyid meninggal, tahta kekuasaan dipegang oleh Abang Ismail dengan gelar Sri Paduka Tuanku Panembahan Gusti Ismail Kesuma Negara II. Setelah Panembahan Ismail meninggal, tahta kekuasaan dipegang oleh anaknya, Gusti Abdul Majid dengan gelar Sri Paduka Tuanku Panembahan Gusti Abdul Majid Kesuma Negara III. Gusti Abdul Majid ditangkap dan dibuang ke Bogor oleh Belanda karena dituduh tidak mau membantu Belanda dalam menyerang pasukan Panggi.

      Menghadapi kevakuman pejabat Sintang maka Pemerintah Belanda menunjuk Ade Muhammad Djoen putera Pangeran Temenggung Agama G.M Isya sebagai Wakil Panembahan. Sejak saat itu, sistem pemerintahan Kesultanan Sintang sepenuhnya berada di bawah kontrol kekuasaan kolonial Belanda.

       Pada tahun 1934 Ade Muhammad Djoen meninggal dunia. Hasil musyawarah keluarga raja-raja Sintang dengan wakil pemerintah Belanda menetapkan putera Gusti Abdul Majid,   Gusti Abdul Bachri Danu Perdana bergelar Sri Paduka Tuanku Panembahan Raden Abdul Bachri Danu Perdana sebagai Panembahan Kesultanan Sintang. Pada masa beliau lah Masjid Jami Sultan Nata direnovasi dan dibangunnya Istana al Mukaramah. Pada tahun 1944 Panembahan Sintang bersaudara dan para bangsawan terpelajar serta  tokoh-tokoh masyarakat ditangkap oleh Jepang dan dibawa ke pontianak. Selanjutnya dibunuh secara massal di Mandor.

     Kemudian pemerintah Jepang mengangkat Raden Muhammad Chalidi Tsafiudin. Karena pada waktu itu raja masih berusia 6 tahun,maka untuk memangku jabatan raja diangkatlah Raden Syamsuddin sebagai Panembahan Sintang. Namun pada tahun 1946 Raden Syamsuddin diberhentikan oleh pemerintah NICA (Belanda) dari jabatan Panembahan,karena terbukti terlibat dalam gerakan Merah Putih di Nanga Pinoh tanggal 15 November 1946 yang dinilai gerakan ini melawan pemerintah Belanda yang akan memerintah kembali di daerah Sintang. Sebagai penggantinya diangkatlah Ade Muhammad Djohan sebagai Ketua Majelis Kerajaan Sintang.

       Kesultanan Sintang merupakan satu-satunya kesultanan di Kabupaten Sintang yang masih eksis hingga akhirnya “bubar” pada tanggal 1 April 1960 M. Sejak tahun 1966, Sintang merupakan Daerah Tingkat II (Kabupaten) di Provinsi Kalimantan Barat. Ibu kotanya adalah Sintang. Setelah Reformasi  Sri Sultan Kesuma Negara V bergelar Pengeran Ratu Sri Negara Raden Ichsani Perdana Tsafiudin,putra dari Panembahan  Raden Abdul Bachri Danu Perdana dikukuhkan sebagai Sultan Istana Al Mukaramah Sintang.