Istana lama Kesultanan Sintang |
Masa Kerajaan Sintang Hindu
Kerajaan ini diperkirakan awalnya terletak di Desa Tabelian Nanga Sepauk, berjarak sekitar 50 km dari Kota Sintang (saat ini). Bukti sejarah berdirinya kerajaan ini dapat ditelusuri melalui sejumlah benda peninggalan sejarah. Sebuah patung yang menyerupai Siwa ditemukan di Desa Temian Empakan, Kecamatan Sepauk. Patung ini mempunyai empat tangan yang terbuat dari perunggu. Di samping itu, juga ditemukan Batu Lingga dan Joni yang bergambar Mahadewa di Desa Tabelian Nanga Sepauk (masyarakat menyebutnya dengan nama lain, Batu Kalbut). Di desa yang sama, ditemukan batu yang menyerupai b*** (sensored) atau lembu, beberapa kapak batu, dan makam Aji Melayu.
Aji Melayu diperkirakan merupakan nenek moyang raja-raja atau sultan-sultan di Kesultanan Sintang. Tidak ada banyak data yang mengungkap tentang asal-usul siapa sebenarnya Aji Melayu itu. Ada sumber yang menyebutkan bahwa ia merupakan penyebar agama Hindu dari Tanah Balang (Semenanjung Malaka) ke Sepauk. Awalnya, ia menetap di Kunjau, dan kemudian pindah ke Desa Tabelian Nanga Sepauk hingga akhir hayatnya. Ia menikah dengan Putung Kempat, dan dikaruniai seorang putri, Dayang Lengkong.
Dayang Lengkong memiliki garis keturunan yang merupakan para pewaris tahta kekuasaan di Kerajaan Sintang Hindu berikutnya, yaitu: Abang Panjang, Demong Karang, Demong Kara, Demong Minyak, Dayang Setari, Hasan, Demang Irawan (Jubair Irawan I) dan Dara Juanti.
Pada abad ke-XIII, Demong Irawan (Jubair Irawan I) memindahkan pusat kerajaan ke Senentang, terletak di persimpangan Sungai Kapuas dan Muara Melawi. Nama Senentang ini lambat-laun lebih dikenal dengan sebutan Sintang. Sebenarnya, penggunaan nama Sintang (Senentang) mulai berlaku sejak zaman pemerintahan Demong Irawan. Pada masa ini, wilayah Kerajaan Sintang mencakup Sepauk dan Tempunak.
Setelah Demong Irawan wafat, tahta kekuasaan dipegang oleh Dara Juanti. Dara Juanti menikah dengan Patih Legender yang berasal dari kerajaan Majapahit. Pada masa pemerintahan Dara Juanti, Kerajaan Sintang pernah mengalami masa kemajuan dan kemakmuran. Setelah Dara Juanti mengundurkan diri kerajaan Sintang mengalami kemunduran,tidak terdengar lagi seolah-olah kerajaan Sintang sudah tidak ada lagi. Baru beratus-ratus tahun kemudian muncul Abang Samad sebagai raja dari keturunan Dara Juanti.
Setelah Abang Samad, tampuk pimpinan Kesultanan Sintang dipegang secara berturut-turut oleh: Jubair Irawan II, Abang Suruh dan Abang Tembilang. Kemudian Abang Pencin yang bergelar Sri Paduka Tuanku Pangeran Agung. Abang Pencin merupakan penguasa terakhir di Kerajaan Sintang Hindu. Ia juga merupakan raja yang menganut Islam pertama kali di Sintang. Masa pemerintahan Abang Pencin dapat dikatakan sebagai babak baru masa Kesultanan Sintang Islam.
Masa Kesultanan Sintang Islam
Masjid Jami Sultan Nata |
Setelah Abang Pencin meninggal, tahta kekuasaan di Kesultanan Sintang dipegang oleh putranya, Abang Tunggal dengan gelar Sri Paduka Tuanku Pangeran Tunggal. Sebelum meninggal, Pangeran Tunggal pernah berwasiat agar Abang Nata menggantikan dirinya. Abang Nata merupakan anak dari kakak perempuan Pangeran Tunggal, Nyai Cili, yang menikah dengan Mangku Negara Melik.
Pangeran Tunggal sebenarnya memiliki dua orang putra, yaitu Pangeran Purba dan Abang Itut. Namun, Pangeran Purba telah menikah dengan putri dari Sultan Nanga Mengkiang dan kemudian menetap selamanya di sana. Sementara itu, Abang Nata masih berumur 10 tahun. Oleh karena kondisi semacam ini, Pangeran Tunggal melakukan sebuah cara, yaitu menunjuk dua orang menteri, Mangku Negara Melik dan Sina Pati Laket. Setelah dewasa, Abang Nata mulai memimpin Kesultanan Sintang. Ia bergelar Sri Paduka Tuanku Sultan Nata Muhammad Syamsuddin Sa‘adul Khairi Waddin. Ia merupakan pemimpin pertama di Sintang yang menggunakan gelar Sultan.
Pada masa pemerintahan Sultan Nata, banyak terjadi kemajuan di Kesultanan Sintang. Pada masa ini, mulai dibangun masjid pertama kali yang letaknya di ibu kota kesultanan, meski hanya dengan kapasitas 50 orang. Pada masa ini pula, wilayah kekuasaan Sintang meluas hingga ke daerah Ketungau Hilir dan Ketungau Hulu, hingga ke daerah perbatasan Serawak, Kalimantan Tengah, dan Melawi. Di samping mengalami kemajuan secara fisik, ada sejumlah keputusan penting terkait dengan Kesultanan Sintang yang ditetapkan dalam sebuah rapat, yaitu:
1. Ditetapkannya Sintang sebagai Kesultanan Islam
2. Pemimpin Kesultanan Sintang bergelar Sultan
3. Disusunnya Undang-undang Kesultanan yang terdiri dari 32 pasal
4. Didirikannya masjid sebagai tempat ibadah
5. Dibangunnnya istana kesultanan
Sultan Nata menikah dengan Putri Dayang Mas Kuma, putri dari Sultan Sanggau. Dari hasil pernikahan ini, Sultan Nata dikaruniai seorang putra, Adi Abdurrahman.
Istana Al Mukaramah Sintang |
Sultan Abdurrahman menikah dengan Utin Purwa, putri Sultan Sanggau. Mereka dikaruniai dua orang anak, Raden Machmud dan Adi Abdurrasyid. Sultan Abdurrahman menikah lagi (tidak diketahui identitasnya), yang kemudian dikaruniai seorang putra bernama Abang Tole. Setelah Sultan Abdurrahman meninggal, tahta kekuasaan Sintang dipegang oleh putranya, Adi Abdurrasyid dengan gelar Sri Paduka Tuank Sultan Abdurrasyid Muhammad Jamaluddin. Sementara itu, anaknya yang lain, Raden Machmud diangkat sebagai Mangkubumi.
Pada masa Sultan Abdurrosyid, dibangun sebuah masjid baru yang menggantikan masjid lama. Ia tidak lama berkuasa karena jatuh sakit. Pada tahun 1210 H, ia meninggal, dan dimakamkan di Kampung Sungai Durian Sintang. Ia digantikan oleh putranya yang bernama Adi Nuh dengan gelar Sri Paduka Tuanku Pangeran Ratu Adi Nuh Muhammad Qamaruddin. Pada masa pemerintahan Adi Nuh, sejumlah rombongan asal Belanda datang pertama kali ke Sintang, tepatnya pada bulan Juli 1822 M, yang dipimpin oleh Mr. J.H. Tobias, seorang Komisaris dari Kust van Borneo.
Pada bulan November tahun yang sama, Pangeran Ratu Adi Nuh Muhammad Qomaruddin meninggal dunia karena sakit parah. Tahta kekuasaan kemudian dipegang oleh Gusti Muhammad Yasin dengan gelar Sri Paduka Tuanku Pangeran Adipati Muhammad Djamaluddin. Pada bulan ini, datang rombongan Belanda yang kedua, di bawah pimpinan Dj. van Dungen Gronovius dan Cf. Golman, dua pejabat tinggi, yang ditemani oleh Pangeran Bendahara Pontianak, Syarif Ahmad Alkadrie, sebagai juru bicara.
Misi Belanda tersebut menghasilkan sebuah kesepakatan dan kerja sama dagang, yang tertuang dalam Voorlooping Contract (Kontrak Sementara). Kontrak ini ditandatangani pada tanggal 2 Desember 1822 M. setelah itu, muncul beberapa perjanjian lainnya (1823, 1832, 1847, 1855). Secara umum, perjanjian-perjanjian tersebut lebih banyak menguntungkan pihak Belanda untuk melakukan intervensi terhadap pemerintahan dalam negeri Kesultanan Sintang. Alhasil, intervensi tersebut berdampak negatif terhadap masa depan pemerintahan Kesultanan Sintang.
Menghadapi kevakuman pejabat Sintang maka Pemerintah Belanda menunjuk Ade Muhammad Djoen putera Pangeran Temenggung Agama G.M Isya sebagai Wakil Panembahan. Sejak saat itu, sistem pemerintahan Kesultanan Sintang sepenuhnya berada di bawah kontrol kekuasaan kolonial Belanda.